Tampak wajah ibu sudah tak biasa
namun letihnya disulap menjadi puisi
dibacakan dengan nyaring
penuh semangat
dan tanpa letih
walau sekujur tubuhnya menahan perih.
Lalu aku bertanya tentang jejak-jejak luka pada bahunya
dia hanya senyum manis
kemudian mengumpulkan perasaannya
sambil melihat ujung gang
tempat mengadu nasib
demi hidup anak-anaknya ke depan.
Jalan setapak itu ialah saksi pengukur lesu
yang terkadang sempoyongan
bahkan terjatuh
namun kembali dikendalikan oleh Tasbih
dan penyerahan diri kepada Rabbnya
untuk menjaga seluruh kehidupan.
Kesekian kali
mata itu tidak pernah tertangkap basah
walaupun hujan menghajarnya terlampau sering.
Barangkali segenap beban mampu ditambal bersama waktu yang tidak sebentar
dan kebijakan dunia menaburinya dengan bumbu-bumbu racikan paling paten
sehingga ibuku menjadi sekuat batu karang
walau menjalani semua badai sendirian.
Hancurlah hati ini
ketika napasmu perlahan-lahan ditelan gelapnya malam
sedangkan sajakku masih belum sempurna.
Ibu, sampai kapan mulutmu bersuara manis? Katakanlah! Biarkan aku menanggung bebanmu sedikit saja.
Ibu, aku mulai dewasa dan pantas menjadi pergantian derita
berbagilah ibu!
Hanya senyuman manis yang disampaikannya bersama dengan sebuah siasat hidup
untuk menjaga seluruh hatiku.
Akhirnya ibu kusuruh tidur dengan tenang sebelum nyamuk mengganggu dan membangunkannya kembali, lalu bersuara ketegaran yang tidak pernah gagal disajikan kedalam porsi kasih sayang.
Oh ibuku, tersayang! Aku mencintaimu begitu dalam. Nyenyaklah dipangkuan cinta ini sampai esok.
Jakarta, 22 Desember 2019.
Karya AbigailTurtovNapitupulu (Delia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H