Teruntuk kau yang di sana. Yang mana sejak awal jumpa menganggap aku tiada. Bahkan sebelum memulai kata pembukaan. Kusebut sedari pertama hingga ke-entahan.
This poem just for you
EMBUN-EMBUN TERSINGKAT
Karya Abigail Turtov
Selalu terjulurlah ia, lewat jendela kamar yang selalu di sapa embun setiap pagi hari. Wajahnya bekerja bersama mimpi-mimpi yang kupertaruhkan di atas dunia. Bahkan bayang itu  mengendap lebih tua di hati, tanpa keinginan untuk menjadikannya utuh, berjatuhan dan menjadi setangkai harapan.
Dan akhirnya kembali pulang. Meringkik di bukit-bukit cadas yang terbentang indah, menjadi sekumpulan pesona, Â pembuat napas tertahan, dari asas-asas kerinduan. Untuk seluruh jiwanya, sebenarnya raga ini tidak sesepi ketika kau tiada. Mulut mengatup dan riuh dalam dada terhenti, saat kehadirannya menjelma begitu saja.
Berpikir dan kembali berpikir. Alangkah angkuhnya pintu pembukaan, akankah ada penerimaan cinta yang paling sembunyi ini? Dari kegagahan yang tak bisa menawarkan jasa pekat agar menjadi kecerahan siang. Ini hanya sisa siluet senja berisi asa yang tak bisa kucahayakan ataupun tercatat dengan baik.
Dan kembali bermain, memuji-mujinya kepada kesempurnaan fatamorgana, kemudian merasakan adanya memuat pori-pori dalam tubuh, bersama pesan-pesan rahasia yang tidak pernah tersampaikan. Musim berbisik pelan dan khidmat. Menanam sunyi sepanjang jalan, sambil menatap pepohonan yang tanpa sadar terlukis dia, di antara ratusan sajak sajak hitam.
Buru-buru kuhilangkan igauan sisi manusia yang tiba-tiba terbentuk, tanpa sadar. Tidak ada penolakan kepada benih yang tumbuh. Tetapi hanya kutinggalkan dia dingin di antara jarak keinginan.
Semu terindah, pada jarak sekitar embun-embun pemicu pagi untuk menguasai kisah dan membuatnya ada seolah nyata. Kepada kau, waktu tersingkat. Kabarkan aku lagi. Ketika tetesan bening berjatuhan di lereng Semeru. Tempat hayalan cinta menyebutkan namanya.
Jakarta, 24 April 2019