Mohon tunggu...
adel arif
adel arif Mohon Tunggu... -

mahasiswa univ.Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyoal Kedaulatan Bawang

14 Maret 2013   07:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Bagaimana rasanya makan tanpabawang ? Pertanyaan ini yang sedang mengemuka di tengah - tengah masyarakat terutama menengah ke bawah seiring denganharga bawang merah dan putih yang perlahan tapi pasti melonjak hingga lebih dari tiga kali lipat. Kenaikan terjadi di berbagai pasar tradisional di berbagai daerah di tanah air. Berdasarkan pantauan KONTAN di Pasar Pondok Gede, Bekasi, Selasa (12/3), harga bawang putih yang pekan lalu berkisar Rp 20.000 - Rp 30.000 per kilogram (kg), sekarang mencapai Rp 55.000 per kg. Sementara itu di, Harga bawang putih di Kota Semarang, Jawa Tengah sempat tembus ke level Rp 60.000 per kilogram. Harga ini kemungkinan menjadi harga bawang tertinggi yang pernah terjadi di Tanah Air. Harga sebesar itu, dilaporkan juga terjadi di Pati, Blora dan Rembang, Jawa Tengah.

Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPSI) menilai naiknya harga bawang putih dan bawang merah dalam sepekan terakhir karena ketidakberesan pemerintah dalam mengatur sektor pertanian. Khususnya terkait dengan kebijakan impor sektor pangan.Menko Perekonomian. Menurut Ngadiran, Sekretariat Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPSI), Pemerintah tidak dapat mengatur soal kebijakan pangan. Pemerintah berlakukan impor bawang saat musim panen yang merusak harga. Sehingga petani bawang semakin lama makin sedikit, di saat petani bawang semakin sedikit, pemerintah mengambil kebijakan menyetop impor bawang putih dan bawang merah. Alhasil, sekarang harga bawang melejit. Yang diuntungkan dari naiknya harga bawang saat ini adalah yang menyimpan barang (bawang) dan pemilik gudang. Mereka menahan barang sehingga harganya jadi naik. Sementara itu, Hatta Rajasa menuding pembatasan impor yang menjadi biang kerok persoalan ini. Hatta Rajasa yang mengklaim dirinya telah blusukan ke berbagai pasar tradisional menyatakan siap membuka kran impor bawang.

Terlepas dari segala tuduhan yang disematkan kepada penyebab fenomena ini, asal kita tahu, semenjak Indonesia tergabung dalam WTO dan IMF, Indonesia dipaksa meliberalkan sektor pangannya, termasuk bawang. Subsidi untuk petani dihapus. Berbagai bentuk proteksi produk pertanian dilucuti. Alhasil, pertanian Indonesia pun kolaps. Sejak saat itu pula, produk pertanian AS, China dan India merangsek masuk ke pasar. Tidak cuma pasar supermarket , namun juga merambah pasar - pasar tradisional dengan harga lebih miring dan kemasan yang lebih menarik. Produksi Hortikultura dalam negeri akhirnya pun kehilangan pangsa pasar karena kalah saing dalam masalah mutu dan efisiensi produksi.

Impor produk hortikultura pun seakan tak mengenal waktu. Di saat petani dalam negeri sedang panen, kran impor tak tertutup. Akibatnya, harga produk petani lokal jatuh sehingga membuat petani mengalami kerugian karena hasil penjualan tidak sebanding dengan biaya produksi.

Pertanian kita seperti bayi yang tak diberi susu. Karena anjuran IMF, Indonesia menghapus subsidi pertanian. Padahal, di negara-negara maju, termasuk AS, sektor pertanian terus menerima subsidi. Di AS, sedikitnya ada 20-an komoditas yang dilindungi, termasuk kedelai.

Pengembanganvarietas bibit unggul pun juga sangat jarang dilakukan. Apalagi kondisi cuaca saat ini juga sering berubah – ubah hingga membuat produksi bawang dalam negeri sering terlihat “galau”. Menghadapi hal seprti ini, diperlukan inovasi – inovasi produksi agar produksi dalam negeri meningkat sehingga mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Lembaga – lembaga penelitian seperti LIPI, BPPT dan Universitas – Universitas terkemuka sebenarnya sangat mampu melakukan riset dan pengembangan varietas bibit unggul tanaman – tanaman pangan. Beberapa dari mereka pun ada yang sudah menelurkan hasil berupa bibit – bibit unggul. Namun hasil itu tinggallah pajangan belaka di dalam laboratorium, sebab tak ada tindak lanjut setelahnya karena tidak ada dukungan dari otoritas yang berwenang.

Cita – cita untuk berswasembada bawang mungkin hanya akan menjadi angan – angan belaka karena tidak adanya i’tikad dari pemerintah untuk menyokong permodalan, teknologi dan ketersediaan lahan. Bahkan, tak ada BUMN yang serius mengurus pangan. Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, soal pangan adalah soal hidup-matinya suatu bangsa.

Untuk bisa berdikari dalam pangan, perlu sokongan modal, teknologi, ketersediaan lahan dan jaminan pasar dan harga bagi petani guna meningkatkan produksi pangan. Dalam upaya tersebut diperlukan peranan BUMN yang bergerak di bidang pertanian dan pangan yang tentu menguasai teknologi produksi pangan dan paham dinamika pasar. Rasanya ini yang perlu menjadi fokus menteri BUMN saat ini.

Kita tentu sangat familiar dengan jargon “Indonesia adalah Negara agraris” yang selalu didengung – dengungkan semasa SD karena dulu lebih-lebih pada dekade 80an, Indonesia mampu berswasembada pangan dan menjadi Negara pengekspor pangan. Namun keadaan sekarang justru terbalik, Indonesia menjadi lumbung pangan yang masih “merengek” kepada Negara lain untuk urusan pangan. Berapa komoditas pangan yang dulu kita menjadi pengekspor sekaran justru menjadi pengimpor.

Kebijakan impor pangan hanya mempertebal kantong segelintir orang, yakni importir dan penyuap kebijakan. Pemerintah Indonesia harus berani meninjau semua perjanjian dengan WTO yang merugikan pertanian dalam negeri.

Apa artinya kemerdekaan jika periuk kita masih ditentukan oleh pihak asing? Apa gunanya gembar-gembor negara agraris jikalau tak sanggup memenuhi kebutuhan pangan rakyat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun