Mohon tunggu...
Muhammad Abdullah
Muhammad Abdullah Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Engineer biasa yang sudah menulis dan menabung

Selanjutnya

Tutup

Trip

Menelusuri Jejak Sejarah dan Keindahan Bumi Mataram dari Jendela Kereta

13 Januari 2025   11:21 Diperbarui: 13 Januari 2025   11:21 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Stasiun di Wonogiri, Sumber : Dokumentasi Pribadi

Langit pagi itu cerah, aroma tanah basah usai hujan mulai terium, dan deru mesin kereta yang perlahan beranjak dari Stasiun Tugu Yogyakarta menjadi awal dari perjalanan tak terlupakan saya di libur Natal dan Tahun Baru kemarin. Rangkaian kereta KRL membawa saya melewati hamparan sawah hijau, perbukitan yang megah, stasiun-stasiun lama yang otentik hingga desa-desa kecil yang seolah menyimpan cerita lama. Tidak hanya menyuguhkan keindahan alam, rute KRL Yogyakarta-Solo yang saya lanjutkan dengan kereta perintis Solo-Wonogiri juga mengajak saya menyelami sejarah Bumi Mataram---tanah yang dulu menjadi pusat kemakmuran dan budaya di Nusantara.

Setiap harinya, KAI memberangkatkan 12 perjalanan pulang pergi dari Yogyakarta ke Solo. KRL ini melintasi berbagai stasiun, mulai dari Stasiun Tugu di Yogyakarta hingga Stasiun Palur di kota Solo, menyuguhkan pemandangan yang memesona sekaligus pengalaman yang nyaman. Dengan jadwal yang padat dan fasilitas modern, perjalanan ini menjadi salah satu pilihan terbaik untuk menikmati keindahan dan kearifan lokal di sepanjang jalur kereta Bumi Mataram pagi hari itu.

Dengan setiap kilometer yang terlewati, saya seolah melintasi batas waktu, melihat bagaimana masa lalu dan masa kini berpadu dalam harmoni. Perjalanan ini bukan sekadar liburan, tetapi sebuah pengalaman mendalam yang membangkitkan rasa syukur atas kekayaan alam dan sejarah tanah air kita.

Pagi itu, stasiun dipenuhi para pelancong yang juga memanfaatkan waktu libur untuk bepergian. Suasana ramai namun tetap tertib. KRL yang bersih dan nyaman membawa saya melintasi lanskap kota Yogyakarta yang perlahan berganti menjadi hamparan persawahan hijau subur. Melalui jendela kereta, terlihat petani yang sibuk di tengah sawah, seolah mengingatkan akan kejayaan agraris Bumi Mataram yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Namun, perjalanan ini bukan hanya tentang keindahan alam, melainkan juga tentang sejarah panjang Bumi Mataram. Dulu, Yogyakarta dan Solo adalah bagian dari satu kesatuan wilayah besar bernama Kerajaan Mataram. Pada masa kejayaannya, Mataram dikenal sebagai pusat budaya dan agraris yang makmur. Tetapi semua berubah pada tahun 1755, ketika Perjanjian Giyanti memisahkan kerajaan besar ini menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Saat memasuki wilayah Solo, saya merasa seperti sedang melintasi batas waktu. Kota ini memiliki nuansa tradisional yang unik, dengan istana Kasunanan yang megah berdiri sebagai saksi bisu dari peristiwa bersejarah tersebut. Tradisi, budaya, dan kehangatan masyarakatnya menjadi daya tarik yang tak terlupakan.

Perjalanan dengan KRL Yogyakarta-Solo bukan hanya menyuguhkan pemandangan alam yang menawan, tetapi juga membawa kita menyelami jejak sejarah kolonial yang tertinggal di sepanjang jalur ini. Setiap stasiun, dari Yogyakarta hingga Solo, menyimpan kisah menarik tentang peran strategisnya pada masa lalu, terutama di era penjajahan Belanda.

Stasiun Tugu Yogyakarta, yang berdiri megah sejak 1887, menjadi pintu gerbang kota yang kaya budaya dan tradisi. Dibangun pada era kolonial, stasiun ini tidak hanya melayani penumpang, tetapi juga menjadi penghubung utama untuk distribusi komoditas unggulan seperti gula dan kopi. Lokasinya yang strategis di jantung Kesultanan Yogyakarta menjadikan stasiun ini pusat transportasi penting bagi roda perekonomian Hindia Belanda.

Bergerak sedikit ke timur, Stasiun Lempuyangan menyapa dengan sejarahnya sebagai stasiun tertua di Yogyakarta, berdiri sejak 1872. Stasiun ini menjadi saksi awal masuknya teknologi transportasi modern di Pulau Jawa. Pada masa kolonial, Lempuyangan adalah pusat pengangkutan gula dari pabrik-pabrik besar yang tersebar di sekitar Yogyakarta. Gula menjadi komoditas emas yang mendorong kemakmuran wilayah ini, meski di balik itu, sistem tanam paksa membebani rakyat kecil.

Saat kereta melaju menuju Klaten, Stasiun Brambanan menjadi perhentian yang istimewa. Tidak jauh dari sini berdiri megah Candi Prambanan, peninggalan Mataram Hindu yang mulai dikenal dunia pada masa kolonial. Jalur kereta ini pernah digunakan untuk mengangkut batu dan material renovasi candi, menjadikan Brambanan sebagai simpul penting dalam upaya pelestarian warisan budaya Nusantara.

Memasuki wilayah Klaten, sawah-sawah yang subur menyambut dari balik jendela kereta. Stasiun Klaten dan Delanggu dulunya menjadi penghubung utama untuk distribusi beras, terutama dari daerah Delanggu yang terkenal sebagai penghasil beras berkualitas tinggi. Pada era kolonial, wilayah ini menjadi salah satu lumbung padi terbesar di Jawa, mendukung kebutuhan pangan Hindia Belanda sekaligus memperkuat reputasi Bumi Mataram sebagai tanah yang subur.

Tiba di Solo, Stasiun Balapan berdiri sebagai simbol modernisasi pada masa Kasunanan Surakarta. Didirikan pada 1873, stasiun ini menjadi pusat transportasi utama di Solo. Pada masa kolonial, Balapan melayani pengangkutan hasil bumi seperti tebu dan kopi, sekaligus menjadi tempat keberangkatan pejabat kolonial dan bangsawan lokal. Keindahan bangunan stasiun ini mencerminkan kejayaan Solo sebagai salah satu pusat budaya di Jawa.

Stasiun Purwosari dan Jebres di Solo menambah warna dalam perjalanan ini. Purwosari, yang dibangun pada 1875, menjadi titik penting dalam distribusi barang dagangan dari dan ke Solo. Sementara itu, Stasiun Jebres melayani wilayah timur Solo yang penuh dengan sekolah-sekolah elite pada masa kolonial, mencerminkan peran kota ini sebagai pusat pendidikan dan budaya.

Setelah berganti ke kereta perintis Solo-Wonogiri, panorama semakin menakjubkan. Jalur ini menyuguhkan pemandangan persawahan yang  hijau, sungai kecil, dan rumah-rumah tradisional yang membaur dengan alam dan angkuhnya pegununan kapur . Di sepanjang perjalanan, hamparan sawah padi yang menguning tampak seperti permadani hijau, melambangkan kesuburan tanah daerah yang dulunya bernama Keduwang ini.  

Foto Stasiun di Wonogiri, Sumber : Dokumentasi Pribadi
Foto Stasiun di Wonogiri, Sumber : Dokumentasi Pribadi

Perjalanan ini memberikan saya waktu untuk merenung dan menyadari betapa berharganya kekayaan sejarah dan alam Indonesia. Bumi Mataram tidak hanya indah, tetapi juga sarat akan makna sejarah dan budaya yang terus hidup hingga kini. Melalui perjalanan kereta ini, saya tidak hanya menikmati liburan, tetapi juga menyelami cerita panjang yang menjadi bagian dari identitas bangsa kita.

Bagi Anda yang ingin menikmati keindahan alam sekaligus memahami sejarah Bumi Mataram, cobalah rute kereta ini. Melalui jendela kereta, Anda tidak hanya akan melihat pemandangan yang memukau, tetapi juga merasakan hubungan mendalam antara masa lalu dan masa kini, sebuah pengalaman yang tak akan Anda lupakan.

 #Liburan Nataru Dengan Kereta, #ClicKompasiana, #Event 1-2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun