Mohon tunggu...
Ade Kadarisman
Ade Kadarisman Mohon Tunggu... -

spirit, love, patient & passion

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

9 Garuda dari Bumi Napoleon

2 Mei 2015   08:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14305282271671632351

[caption id="attachment_363954" align="alignnone" width="800" caption="9 Garuda dari bumi Napoleon"][/caption]

9 GARUDA DARI BUMI NAPOLEON

Menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015 tergerak hati untuk berbagi informasi dan semangat kiprah anak-anak muda bangsa yang tengah berjuang menuntut ilmu di Perancis. Laksana busur panah yang fokus menyasar tujuannya, mereka putra putri negeri berangkat ke benua biru dengan itikad mengembangkan diri, menancapkan harapan, menggapai impian hidup dimasa yang datang.

Banyak anak bangsa dari berbagai sudut nusantara saat ini yang tengah berjuang menggapai cita-citanya di benua biru. Mereka datang dari berbagai latar belakang pendidikan dan budaya yang berbeda. Namun memiliki semangat yang sama, memberikan arti untuk hidup, berproses terhadap pencapaian cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk kembali ke tanah air, berbakti untuk merah putih.

Diantara mereka, saya berkesempatan untuk bertemu dan bersilaturahmi dengan 9 (sembilan) orang dari beragam jenjang studi dari mulai S1 hingga S3. Mereka adalah "Garuda" yang mengepakkan sayap membelah dunia, meninggalkan zona nyaman bersama keluarga di tanah air, berani menyambut masa depan menuju Indonesia yang gemilang dimasa yang akan datang. Kesembilan anak muda berbakat ini tengah studi dalam berbagai bidang keahlian seperti biologi kesehatan, nuklir, geopolitik, ekonomi, hingga  sport management dan fashion.

Selain mereka masih banyak yang lainnya yang memiliki potensi dan berbakat serta punya keinginan yang kuat untuk kembali ke tanah air setelah selesai studi nanti. Meski  belum terikat oleh institusi/lembaga  manapun di tanah air, namun mereka optimis untuk berkiprah dan berkontibusi untuk bumi pertiwi kelak.

Catatan sederhana tentang mereka ini, semoga menjadi penyemangat dan penabur harapan tentang kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.

LARAS A PITAYU

Ada kalanya, pengalaman masa lalu menjadi cambuk untuk berprestasi lebih baik. Itu yang dirasakan Laras A Pitayu mahasiswa S3 dalam bidang Biologi Kesehatan dengan riset tentang kandidat obat baru untuk penyakit mitokondria di Universitas Paris Sud XI dengan beasiswa AFM (Association Française contre les Myopathies). Sebelumnya Laras juga pernah mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk program master nya dan Beasiswa Unggulan Kemendiknas untuk doktoral nya.

Laras menuturkan saat menghadiri sebuah seminar motivasi, seorang motivator terkenal berkata "orang-orang paling sukses adalah orang yang semasa mudanya susah dan miskin". “Di situ saya merasa syok, karena sebagai anak muda yang hidupnya alhamdulillah enak-enak saja, saya merasa seolah diultimatum akan menjalani hidup yang medioker,”ungkap jebolan Farmasi ITB ini.

Ia merasa agak marah pada pernyataan motivator tersebut, mungkin juga karena ada kekhawatiran pernyaatan itu bisa jadi  benar. Tapi lama kelamaan saya paham bahwa pernyataan itu salah, harus diganti dengan "orang-orang paling sukses adalah yang semasa mudanya berjuang" dan perjuangan tidak harus berangkat dari keadaan susah dan miskin secara ekonomi, tapi juga secara intelektual, dari kegelisahan untuk selalu ingin mencapai keadaan yang lebih baik.

“Menulis cerita ini saya jadi teringat Kartini, seorang anak bupati ningrat, yang perjuangannya (meski singkat) berhasil menjadi salah satu pilar perjuangan perempuan Indonesia modern,”ungkap mantan Ketua PPI Paris 2010-2011 yang memiliki moto hidup “Setiap manusia itu harus dimanusiakan”.

Laras berharap kedepan dirinya bisa pulang, mengajar dan menjalani riset bidang kesehatan. “Kontribusi dalam bentuk apa konkritnya ya belum tahu karena saya belum jadi apa - apa dan masih memetakan kebutuhan Indonesia dari kejauhan,"tuturnya.

ia berharap Indonesia bisa menjadi negara yang memperjuangkan kecerdasan dan kesehatan rakyatnya tanpa pandang bulu, bisa mendapat hak dan perlindungan yang sama dari negara,"ungkap perempuan yang mahir bernyanyi Keroncong dan kerap tampil diberbagai acara KBRI Paris.

"Mudah-mudahan saya bisa mulai membangun semangat itu dari apa yang saya tahu : melalui riset dan pendidikan," lanjutnya. Laras  menegaskan bahwa riset di Indonesia akan makin sukses jika komunikasi 4 faktor ini dilakukan berkala dan intensif yakni  antara Universitas-Masyarakat-Pemerintah-Industri.

DHIARA FASYA

Suatu pagi di kawasan Cambronne Paris kisaran 3 tahun lalu saya bertemu dengan sosok mungil namun lincah ini. Dhiara Fasya figur muda aktif yang tidak pernah bisa diam. Saat itu ia tengah bersiap magang di kantor Wakil Republik Indonesia (WRI) UNESCO,Paris.

Karena karakter inilah berbagai aktivitas dijalaninya khususnya saat mengambil licence (S1) bidang media dan komunikasi  di Perancis. Selanjutnya ia kemudian meneruskan studinya dengan mengambil master / MBA Geopolitics di American Business School Paris dan Master Information Management Strategy (Science Po Aix) yang semuanya akan selesai tahun ini.

Menurut Dhiara, ada dua alasan setidaknya kenapa ia tertarik di bidang Geopolitics. Pertama, sejak tinggal di Perancis dan dua tahun magang di Kantor Perwakilan Republik Indonesia (KWRI) UNESCO Paris sehingga kemudian tertarik pada persoalan hubungan internasional. Kedua, pengetahuan yang saya miliki nantinya haruslah bersifat praktis. Artinya pengetahuan tentang politik kawasan itu harus bisa menjadi modal untuk meletakan Indonesia dalam konteks politik internasional.

“Pergaulan dengan orang-orang dari berbagai negara lain menjadi penting untuk meningkatkan kemajuan dalam negeri. Itulah kenapa saya merasa perlu untuk menambah kemampuan saya dalam membaca persoalan politik kawasan,”ungkap mantan Ketua PPI Perancis 2013-2014 ini.

“Pengalaman magang di UNESCO serta mengikuti pertukaran pelajar saat SMA ke USA  yang membuat saya yakin bahwa bidang yang ingin saya tekuni selepas lulus nanti adalah diplomasi budaya. Dan karena itulah jurusan yang saya pilih adalah Geopolitics,”.

Bagi Dhiara, membangun Indonesia mungkin sudah menjadi cita-cita semua warganya. “Saya berharap setelah selesai studi ini saya dapat mengaplikasikan nilai-nilai positif ilmu yang didapat dari sudut pandang komunitas eropa dalam menghadapi prekonomian global, sehingga Indonesia dapat berkembang ke arah yang signifikan tanpa mengesampingkan nilai-nilai Pancasila,”ungkap Dhiara yang tengah menyiapkan diri untuk berkunjung ke kawasan Silicon Valley Amerika Serikat bulan ini.

DITA FLORESYONA

Dalam sebuah acara mahasiswa yang digelar oleh PPI Perancis dan KBRI Paris saya bertemu dengan peneliti muda Dita Floresyona. Sosok muda prestatif jebolan Kimia UGM ini tengah mengambil studi Doktortal di Laboratoiré de Chimie Physique, Université Paris Sud XI, Orsay atas Beasiswa dari Kementrian Riset Perancis. dengan risetnya mangenai  Synthesis of Nanomaterials in Hexagonal Mesophases for Application in Fuel Cell.

Menurut Dita, alasan kenapa memilih Kimia sebagai “passion akademiknya” karena memang kimia adalah pelajaran favoritnya sejak lama. Begitupun dengan risetnya yang diambil karena topiknya sedang hangat saat ini. Fuel cell merupakan suatu device yang bisa mengconvert bahan kimia (fuel) berupa hydrogen dan oxygen (atau bisa alcohol rantai pendek) menjadi energy. Ini merupakan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan, karena hanya air sebagai produk sampingnya.

Akan tetapi, sekarang masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan fuel cell ini salah satunya adalah karena biayanya yang masih mahal karena bergantung pada katalis Platinum dalam proses konversi energinya.

“Nah dalam penelitian saya kali ini, saya membuat bimetallic berbasis Platinum-Nikel, Paladium-Nikel, dan trimetallic Platinum-Paladium-Nickel. Penambahan nikel yang merupakan logam golongan transisi (yang lebih murah), diketahui dapat meningkatkan aktivitasnya hingga 10X untuk proses ORR (Oxygen Reduction Reaction),”ungkap Dita  yang menghabiskan masa SD sampai dengan SMA di Sawahlunto, Sumatera Barat.

“Ibu saya merupakan seseorang yang sangat peduli tentang pendidikan anak-anaknya. Bagi dia, pendidikan anak-anaknya adalah investasi bagi keluarga kami. Saya masih sangat ingat dulu, setiap awal semester, kami selalu diberikan pilihan, antara mau makan enak atau mau beli buku. Dan kami semua memilih untuk dibelikan buku,” ungkap Dita yang memiliki mimpi menjadi peneliti dengan banyak karya paten dan mempunyai perusahaan bebasis nano katalis..

ANGGA PERIMA

Kegiatan pencak silat Merpati Putih di KBRI Paris saat ini semakin semarak dari waktu ke waktu. Peminatnya juga makin banyak dari warga Perancis selain mahasiwa Indonesia yang berada di Paris. Peran pelatih tak bisa dipisahkan. Adalah Angga Perima, yang beberapa bulan terakhir intensif mengajak berbagai kalangan untuk terlibat aktif bersama rekan-rekanya.

Pria asal Lubuklinggau Sumatra Selatan yang tengah mengambil S3 Physical and Analytical Chemistry di  Université Pierre et Marie Curie - Paris 6 (Laboratoire de Biochimie ESPCI Paristech) atas beasiswa dari LPDP Kementrian Keuangan RI ini menjadikan silat sebagai bagian dari kontribusi konkretnya dalam diplomasi budaya.

Ia terpanggil untuk membantu mempromosikan kebudayaan Indonesia ini di Perancis. Kemampuan pencak silat Merpati Putih yang ditekuninya sejak kuliah di IPB (Institut Pertanian Bogor) sangat membantu dalam berinteraksi dengan masyarakat Perancis sekarang.

Sebelumnya Angga mengambil S2 di Paris juga atas Beasiswa Unggulan Kemendiknas.  Ia berprinsip bahwa kesempatan studi doktoral saat ini merupakan jalan penting berperan dalam pengembangan dunia riset di tanah air kedepan.

Menurut Angga, saat ini masih sedikit orang Indonesia yang menggeluti bidang droplet microfluidics ini. Selain itu Profesor pembimbingnya adalah salah satu pionir di dunia untuk bidang ini. Aplikasi dari penelitiannya adalah untuk mempersingkat waktu drug discovery atau penemuan obat baru, baik untuk manusia atau makhluk hidup lainnya.

Kedepan ia berencana untuk menerapkan teknologi ini di Indonesia, dan menjadi pionir teknologi di Indonesia, dengan menggandeng perusahaan-perusahaan farmasi dan perusahaan pertambangan untuk penerapannya. Teknologi ini bisa diterapkan untuk bidang pertambangan, seperti yang telah diterapkan di Prancis.

"Sebagai anak dari daerah, saya belajar untuk selalu menjaga semangat, tidak mudah menyerah, berani berkompetisi secara sehat, mental ini terbangun hingga saat ini,"ujar Angga yang mahir bermain Biola ini.

NUR KUSUMANINDYAH

Saat ini masih sedikit anak muda di Indonesia yang tertarik untuk belajar nuklir dan energi. Peluang ini menjadi jalan bagi Nur Kusumanindyah yang bisa dipanggil Ria untuk mengembangkan diri dibidang tersebut. Perempuan cerdas kelahiran Solo 1 Juni 1990 in tengah mengambil S3 bidang Nuklir dan energi di Commissariat à l'Energie Atomique (CEA) Cadarache - Aix en Provence dengan kontrak research penuh dari Perancis.

Menurut Ria, CEA merupakan lembaga prestisius semacam BATAN-nya Perancis. Beasiswanya menarik karena mahasiswa apply subject research yg mereka tawarkan. Setelah lolos seleksi langsung mendapatkan kontrak kerja 3 tahun. Untuk mendapatkan gelar Doctorat setiap subjek penelitian punya link dengan universitas yang sudah dipilih oleh pihak CEA yang biasanya disesuaikan dengan tema riset kita.

“Saya dibesarkan di keluarga sederhana. Dari kecil dididik untuk jadi pekerja keras, jika ingin sesuatu harus mau usaha. Untuk dapat beasiswa ini juga saya merasakan puluhan kali ditolak, puluhan kali hampir putus asa gak pernah dapat, tapi dorongan semangat dari ayah bikin saya terus berusaha mencoba dan mencoba. Sampai akhirnya mandapatkan beasiswa 1 tathun Master di Perancis sebelum lanjut S3 ini,”ungkapnya mengenang.

Ria berprinsip  “If there's a will, there always be a way”. “Alhamdulillah saya jadi orang pertama satu angkatan yang mandapat kontrak Ph.D full scholarship dari salah satu research center publik terbaik (khususnya bidang nuklir dan energi) di Perancis,”ujar Ria yang bercita-cita ingin mengharumkan nama indonesia di dunia internasional.

Ia berharap suatu saat nanti bisa melihat dunia riset indonesia bersinergi antara pusat riset (LIPI , BATAN), universitas, dan industri seperti apa yang ia amati di Perancis sehingga dunia riset tidak redup dan selalu penuh dengan inovasi yang aplikatif.

JOHANES CHANDRA

Seringkali kegagalan adalah penyemangat untuk maju sekaligus pembelajaran. Komitmen untuk berprestasi harus terus dibangun dalam diri. Ini yang dirasakan Johanes Chandra saat berjuang untuk mendapatkan Beasiswa S3 di Perancis. Saat ini pria yang bisa disapa Jojo tengah melanjutkan risetnya di program Post-Doctorant de la Chaire PERENITI (EDF SEPTEN/CIH/DTG) di Laboratoire 3SR Grenoble INP.

Awalnya Jojo mengambil S1 Teknik Sipil di Universités Indonesia. Lalu saat di UI inilah minatnya berubah ke arah studi kegempaan dan pengaruhnya terhadap konstruksi sipil khususnya yang menyangkut matérial tanah dan bangunan. Bidang ini merupakan peluang bagi  Indonesia karena kita negara rawan gempa dengan lempeng gempa yang aktif.

Jojo mengungkapkan keinginannnya untuk berkiprah ditanah air. Namun saat ini ia memilih untuk menimba ilmu dan pengalaman sebanyak mungkin sekaligus membangun networking dengan berbagai lembaga riset international. Bagi Jojo, prinsipnya bahwa  “life is a process", tidak ada yang namanya gagal tapi yang ada adalah pembelajaran.

Menurut Jojo ada satu fase dalam perjuangannya gagal apply beasiswa kemana-mana. “Saya masih ingat, saya apply tahun 2010 itu ke  6 universitas  di US, 1 di Australia  1 di New Zealand, 1 di Jepang, 1 di Jerman, 1 di Italy, 1 di Sweden, tapi akhirnya balik lagi ke Perancis di kota Grenoble ini,”ujar Jojo.

Semua tantangan itu tak menyurutkan langkahnya. Ia bersyukur saat ini bisa bekerja untuk sebuah lembaga riset terkemuka dibidangnya di kota Grenoble Perancis.

BAYU EKA SARI TEGUH

Mengembangkan passion yang dimiliki, sepertinya menjadi penyemangat pria kelahiran Pare-Pare Sulawesi Selatan 25 tahun lalu ini. Bayu Eka Sari Teguh, pemuda berdarah Bugis yang seolah-olah sudah digariskan untuk berpetualang jauh. Lahir di rumah panggung disebuah desa kecil di Sulawesi, kemudian berpindah-pindah di pedalaman Kalimantan hingga bermukim di kota Sampit.

Lepas dari SMA Taruna Nusantara, Bayu melanjutkan studi ekonomi di Universite Lumière Lyon 2 Perancis. “Pengalaman yang jadi titik balik dalam hidup adalah ketika saya mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di SMA Taruna Nusantara (TN),"tutur pemuda yang biasa dipanggil "Bes" ini.

Selain karena didikan orang tua dan keluarga, di TN saya belajar menjadi siapa saya sekarang ini, disiplin, dewasa, dan mudah beradaptasi serta  berusaha memberikan yang terbaik kepada NKRI,”ungkap Bayu yang sempat lolos mengikuti program Harvard Project International Relation (HPAIR) 2015 di  Boston, USA dan lolos dalam program pertukaran mahasiwa ke Universitas Federal Rio de Janiero,Brazil 2014.

Menurut Bayu, ayahnya selalu mengajarkannya  jangan pernah menyerah dan bermimpi setinggi mungkin, walaupun keluarganya adalah rakyat biasa dan bukan orang yang kaya, namun jika kita senantiasa berusaha dan berdoa maka Tuhan akan membantu kita untuk meraih mimpi.

“Menurut saya pribadi, pendidikan disemua negara sama saja, yang saya dapatkan lebih dari Perancis adalah pengalaman hidup. Semenjak tinggal di Perancis, saya menjadi lebih mandiri," ungkap Bayu yang mahir berbahasa Perancis, Ingris, Spanyol dan Portugis serta menguasai sekitar 100 Kuliner Eropa, Asia, dan Amerika Latin.

“Hobi masak ini awalnya karena niat untuk menghemat karena biaya di Perancis cukup mahal,”ungkap Kapten Sepakbola di kampusnya yang sempat bekerja “serabutan” dari mulai sebagai asisten koki, bekerja di stasiun kereta hingga bekerja di hotel jadi cleaning service disela-sela studinya.

“Jika saya di berikan kesempatan, saya ingin kembali dan bekerja untuk tanah air. Ini komitmen saya,"harapnya. "Ada banyak pemuda dan pemudi yang jauh lebih pintar, bersemangat dan lebih muda dari saya, yang ingin bekerja dan mengabdi untuk tanah air, namun mereka kurang mendapatkan informasi dan apresiasi dari pemerintah sehingga  membuat mereka jadi enggan atau berpikir lagi untuk kembali ke Indonesia,”pungkas Bayu yang juga punya obsesi  melihat Indonesia bisa bermain dan juara di Piala Dunia.

TALITHA JESSICA KANDOU

Dunia industri kréatif saat ini sedang “booming” dan mendapatkan perhatian yang semakin serius dari pemerintah termasuk Fashion salah satunya. Banyak anak muda berbakat mengambil bidang Fashion. Paris tentu menjadi salah satu tempat yang tepat untuk belajar Fashion termasuk yang tengah  dijalani oléh Talitha Jessica Kandou (21 tahun) di ECAMOD,Paris.

Menurut Talitha, potensi bidang fashion di Indonesia sendiri semakin hari semakin berkembang, dengan adanya Tex Saverio seorang designer Indonesia yang kini dilirik oleh dunia. Hal ini bisa membuka jalan bagi designer-designer muda yang penuh dengan ide-ide briliant untuk menjadi designer dengan target mendunia.

“Dengan kesadaran memperluas pengetahuan tentang teknologi dan penemuan textile terbaru dapat membantu memajukan dunia fashion dalam negeri. Designer-designer barupun harus memiliki kesadaran untuk menjadi “creator” atau pencipta, bukan hanya menciptakan gambar baru tapi yang menciptakan style dan silhouette manusia yang benar-benar baru,”ungkap Talitha yang gemar bermain basket disela waktu senggangnya.

Fashion memang merupakan sesuatu yang sering dicap glamor dan luxury, namun berbeda dengan style yang pada dasarnya merupakan gambaran dan ciri khas dari setiap individu. “Fashion fades only style remains the same” merupakan quotes dari Coco Chanel yang mengingatkan kita bahwa hal-hal yang glamor tidak bertahan lama namun kepribadian kita akan melekat sepanjang masa.

“Saya sendiri sangat ingin membanggakan Indonesia terutama dalam bidang fashion dengan mengangkat khasanah kekayaan tradisional Indonesia yang kaya akan philosopi ke dunia internasional,” harap Talitha.

“Kedepan saya ingin membanggakan orang tua dengan menjadi wanita karir yang mandiri dan sukses dalam bidang yang saya pilih. Rencananya setelah selesai studi saya akan mencoba membuka atelier di Bandung dan memulai karir saya dalam bidang fashion haute gamme,” tutur Talitha optimis.

Bagi Talitha, kesempatan emas studi di Paris harus dimanfaatkan sebaik mungkin. "Bukan tanpa masalah dalam mencapai cita-cita ini, namun saya berusaha untuk survive dan mengatasi setiap ujian yang dihadapi,"ungkapnya.

REZA ADHIE

Menjadi pemain sepakbola di Eropa, itulah tekad Reza Adhie Pratama saat meninggalkan tanah air sekitar 3 tahun lalu. Pemuda kelahiran Surabaya 8 januari 1992 ini saat ini tengah kuliah di jurusan Sports Business Management di Sports Management School Paris - EDC Ecole de Commerce Paris la défense.

“Saya menghabiskan masa kecil di Jakarta sampai akhirnya berangkat ke Paris untuk ikut seleksi klub bola di kota Nice tahun 2012. Dengan keinginan yang sangat tinggi untuk menjadi pemain sepakbola internasional dan dukungan yang kuat dari lingkungan sekitar saya berani untuk menjajal tanah Eropa mewujudkan impian saya,”tutur Reza.

Menurut Reza, 1 tahun bermain di liga amatir Prancis dan Jerman cukup banyak mengasah kemampuannya, mengajarkan ketatnya persaingan sepak bola Eropa dan berkelasnya kompetisi Eropa. Namun cerita menjadi lain saat Reza mendapatkan musibah. Ia cedera  parah hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan karir akademik seperti yang dijalani saat ini. “Berbagai cara dan upaya sudah saya lakukan untuk memulihkan cedera agar bisa kembali ke rumput hijau tapi Tuhan berkata lain,”ungkap Reza.

Meski demikian, kecintaan kepada dunia sepakbola, telah melahirkan cita-citanya untuk membawa sepakbola Indonesia  mencapai prestasi yang tinggi di kancah international. “Rencana saya kedepan setelah kuliah saya ingin mencari pengalaman kerja dulu di FIFA, UEFA dan klub klub sepakbola Eropa untuk menambah pengalaman saya di dunia sepakbola,” tutur Reza yang saat ini aktif di club sepakbola PPI Paris dan sempat menjadi Ketua Eurolymplic PPI Perancis tahun lalu.

“Saya melihat sepakbola Indonesia layaknya sumber minyak yang belum ditemukan, yang  masih harus tetap dicari dan kemudian dikembangkan menjadi sesuatu yg benar-benar dicari banyak orang, oléh karena itu saya optimis terhadap masa dépan sepakbola tanah air,” ungkap Reza yang memiliki moto hidup “Apa yang kita tanam itu yang kita tuai”. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun