Apalah daya rasa tak bisa ditahan, pikiran pun malayang lewat tulisan. Mulut terkunci rapi, hatipun akhirnya bercerita.
Aktifis, yang terlintas dalam benak kita adalah sosok inspiratif yang selalu aktif. Hatinya tegar bagaikan karang di lautan, tak sedikit pun mengeluh, walau setiap waktu dihempas ombak diterjang badai. Baginya, setiap masalah kehidupan adalah bara api yang membuat besi mudah ditempa menjadi sebuah belati. Akan tetapi, soal cinta lain pula ceritanya. Cinta bukan hanya berjuta rasa, tetapi juga yang melatari berbagai tindakan dan keputusan. Dia datang secara perlahan, tak bisa diduga, dan tiba-tiba saja kita sudah berada dalam pelukan asmara. Manis-pahitnya. Suka-dukanya. Tawa dan tangisnya. Lalu, bagaimana ketika seorang aktivis jatuh cinta ? Ceritanya pasti tidak sederhana. Saat idealisme bertemu dengan kerinduan yang mengharu biru, semua menjadi tidak bisa diduga ke mana arahnya.
Cerita ini dimulai dari pertemuan tak sengaja dengan seorang mahasiswi di warkop kampus di suatu siang. Gadis ini mirip dengan perempuan dalam mimpiku. Dia bernama ….. (sebut saja Bunga) anak Fakultas Sastra. Harapanku kepadanya mulai meninggi ketika aku sukses melukisnya dengan mata terpejam. Namun harapanku terbentur sebuah kenyataan. Tetapi, aku percaya cinta tidak akan pernah salah mengenali tuannya.
Aku mulai mengenalnya saat dia mengikuti pengkaderan dasar sebuah organisasi mahasiswa islam. Saat itu ia mempresentasikan hasil diskusi materi pendidikan keislaman. Aku yakin sekali saat itu ia telah menghipnotis mahasiswa yang hadir hari itu. Bukan dengan sihir melainkan dengan segala kecerdasan yang terpancar saat ia menyampaikan hasil diskusi itu. Aku adalah salah satunya. Diam-diam, sejak saat itu aku mengagumi sosoknya. Anggun, sholeh, ramah dan cerdas.
Seiring berjalannya waktu kebersamaan kami di organisasi, perasaan kagum itu berubah menjadi sebuah rasa yang aku masih malu sekali menyebutnya cinta. Maka aku menganggapnya hanya perasaan suka saja. Tapi apalah daya, aku tidak begitu pintar membohongi diri sendiri. Maka aku menyerah dan jujur pada diriku sendiri bahwa mulai tumbuh bibit-bibit cinta di tanah hati yang sedang subur ini. Hal ini membuatku merasa canggung setiap kali dekat dengan gadis sholehah nan rupawan itu. Karena itulah aku selalu berusaha tampil sesempurna mungkin di depannya. Hal ini bukannya tak beralasan. Aku tahu, diam-diam banyak pria yang juga menaruh hati padanya.
Suatu hari kami ada janji. Tepat jam lima sore ia datang. Saat ia muncul di hadapanku, seperti biasa, tubuhku menjadi kaku bagaikan dipaku. dan lidahku begitu kelu. Padahal sebelumnya, aku mampu menceritakan dengan baik isi buku pemberiannya di hadapan kucing yang duduk di sebelahku. Namun kali ini, semua kata-kata itu seolah enggan keluar, malu. Seperti sebelumnya, ia duduk di sampingku. Kali ini ia mengenakan kacamatanya. Dua bola mata itu selalu malu untuk menatap mataku. Kami pun mulai berdiskusi di bawah pohon sawo duren yang sore itu nampak indah dan megah dengan warna daun keemasannya.
Kami banyak bercerita sore itu. Tentang buku. Tentang sastra. Dan tentang cita-cita kami untuk menjadi seorang penulis. Kami memiliki banyak kemiripan di beberapa hal. Dan itu membuatku semakin yakin bahwa sebenarnya Tuhan sedang mendekatkan aku dengan belahan jiwaku yang lainnya, yang dulu terpisah. Kami mengakhiri pertemuan hari itu saat adzan magrib berkumandang dengan merdunya. Dan yang terakhir kulihat hari itu, yang masih kuingat betul, adalah tatapan mata yang begitu tajam dan memesona.
***
Kehidupan terus berjalan, detik demi detik berlalu dan tanpa terasa aku dan dia telah mengukir banyak cerita dan kenangan di lembar sejarah kehidupan kami. Semakin hari bibit cinta yang tak sengaja kusemai, kian tumbuh subur. Ia pun selalu memberi sinyal-sinyal baik. Dalam hati aku berkata, tunggu aku hingga waktunya tiba aku akan datang meminta izin pada bapakmu untuk menjadikanmu yang halal bagiku.
Namun yang tak pernah aku duga-duga sebelumnya terjadi. Malam keakraban yang sengaja diadakan oleh organisasi mahasiswa islam tempat aku dan ia banyak belajar adalah momen yang seharusnya tidak perlu ada. Namun ternyata takdir mengharuskannya ada dan semua akhirnya terbongkar.
Malam itu, tepat pukul delapan malam aku menuju lapangan tempat diadakannya malam keakraban. Dari kejauhan aku melihat api unggun yang berkobar gagah dikelilingi puluhan teman-teman seperjuanganku di organisasi. Tidak sengaja, aku mendengar percakapan antara dua orang wanita di dalam satu-satunya ruang kelas kampus yang terbuka pintunya dan lampunya menyala ketika aku hampir melintas di depannya. Aku sengaja menghentikan langkah karena aku mengenal betul dua suara itu.
“Bunga, itu fatal”, kata salah satu diantara mereka.
“Kamu jangan bersikap seperti itu”, Aku tahu siapa wanita yang sedang berbicara itu. Itu Mawar. Sahabat Bunga yang sering dijadikan tempat untuk sharing.
“Dia kakak yang hebat, Mawar. Aku butuh dia”, Kata wanita lainnya. Itu suara Salman. Kataku dalam hati. Aku semakin serius mendengarkan pembicaraan itu.
“Tapi cara kamu salah, Bunga ! Aku terus terang tidak pernah sepakat dengan sikapmu ini. Ini menyangkut perasaan seseorang !”, kata Mawar dengan nada tinggi. Nampaknya ia sedikit marah. Aku belum begitu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa sebenarnya orang yang sedang mereka bicarakan ? Tanyaku dalam hati.
“Iya Mawar saya tahu saya salah. Tapi saya tidak pernah mempermainkan perasaannya. Ini murni hanya ingin belajar. Saya ingin kakak seperti Herman membimbingku belajar. Hanya itu saja Mawar.” Aku mulai mengerti apa dan siapa yang mereka bicarakan. Dadaku sesak, paru-paruku terasa menyempit, sepertinya aku kehabisan oksigen. Aku menjauh dari ruangan itu. Aku diam-diam menyelinap keluar kampus dan memutuskan untuk menyudahi malam itu seorang diri.
***
Begitulah aktifis, tak peduli seberapa kuat ia ditempa, dihantam ombak dan badai. Kala berbicara cinta, aktifis pun tak bisa menyangkalnya. Manis-pahitnya. Suka-dukanya. Tawa dan tangisnya. Semuanya menyatu dalam sebuah perjuangan dibawah panji idealismenya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H