“Bunga, itu fatal”, kata salah satu diantara mereka.
“Kamu jangan bersikap seperti itu”, Aku tahu siapa wanita yang sedang berbicara itu. Itu Mawar. Sahabat Bunga yang sering dijadikan tempat untuk sharing.
“Dia kakak yang hebat, Mawar. Aku butuh dia”, Kata wanita lainnya. Itu suara Salman. Kataku dalam hati. Aku semakin serius mendengarkan pembicaraan itu.
“Tapi cara kamu salah, Bunga ! Aku terus terang tidak pernah sepakat dengan sikapmu ini. Ini menyangkut perasaan seseorang !”, kata Mawar dengan nada tinggi. Nampaknya ia sedikit marah. Aku belum begitu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Siapa sebenarnya orang yang sedang mereka bicarakan ? Tanyaku dalam hati.
“Iya Mawar saya tahu saya salah. Tapi saya tidak pernah mempermainkan perasaannya. Ini murni hanya ingin belajar. Saya ingin kakak seperti Herman membimbingku belajar. Hanya itu saja Mawar.” Aku mulai mengerti apa dan siapa yang mereka bicarakan. Dadaku sesak, paru-paruku terasa menyempit, sepertinya aku kehabisan oksigen. Aku menjauh dari ruangan itu. Aku diam-diam menyelinap keluar kampus dan memutuskan untuk menyudahi malam itu seorang diri.
***
Begitulah aktifis, tak peduli seberapa kuat ia ditempa, dihantam ombak dan badai. Kala berbicara cinta, aktifis pun tak bisa menyangkalnya. Manis-pahitnya. Suka-dukanya. Tawa dan tangisnya. Semuanya menyatu dalam sebuah perjuangan dibawah panji idealismenya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H