Mohon tunggu...
Ade Ivan Al Haroma
Ade Ivan Al Haroma Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang lelaki yang belajar menggoreskan pena

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Al-Qur'an Saku untuk Laila

26 Februari 2017   19:30 Diperbarui: 27 Februari 2017   08:00 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku adalah Rahmat, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sarjono dan Rima. Adikku masih duduk di kelas 8 SMP, Alfian namanya. Tahun ini aku baru tamat SMA dan aku bertekad untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Nasib baik menghampiri kala aku diterima masuk di salah satu kampus terkemuka di Surabaya. "Alhamdulillah, satu tangga mampu kulewati", ucapku dengan tertawa seraya memeluk Ibu menandakan bahwa aku sangat senang.

Tiba hari yang ditunggu-tunggu yaitu awal masuk kuliah. Seperti pada umumnya rutinitas ospek harus dijalani mahasiswa baru sepertiku. Rutinitas yang bagiku sangat membosankan tapi mau tak mau aku harus menjalaninya jua. Untung teman-teman baruku di kampus sangatlah baik membuat aku tak terlalu terbebani dengan rutinitas ospek ini. Hingga tak terasa ospekpun selesai dan perkuliahan dimulai.

Semasa perkuliahan tak seperti dengan apa yang kupikirkan selama ini. Ku pikir kuliah itu enak seperti di FTV. Tapi kenyataannya justru berbanding 180 derajat. Kuliah dibebani dengan banyak tugas. Mau makan pun harus diatur menyesuaikan uang saku ku. Jika asal membeli makan, bisa-bisa akhir bulan mati kelaparan. Rutinitas yang ternyata sangat membosankan tak seperti yang aku bayangkan.

Suatu hari ketika aku sedang duduk di taman kampus, lewatlah seorang gadis. Ia tersenyum kepadaku dan aku pun membalas senyumannya. Padahal saat itu kami belum saling kenal. Sejak saat itu aku bertanya-tanya dalam hati sebenarnya apa arti senyuman itu. Aku berusaha mencari tahu tentangnya, tentang sosok yang bagiku memiliki senyuman yang manis.

Keesokan harinya aku pergi ke perpustakaan kampus. Aku tak menyangka jika ia juga berada disana. Kami bertemu dan lagi-lagi ia tersenyum kepadaku. Aku benar-benar merasa ingin tahu siapa dia. Setelah beberapa jam dan sebelum keluar, kuberanikan diri untuk menghampirinya.

"Hai nona siapa namamu ?"... Ucapku antusias

"Namaku Laila", jawabnya dengan nada lembut yang membuatku semakin terpesona

"Sedang apa disini ?"... Aku menanyakan yang sebenarnya tak perlu aku tanyakan tetapi aku tidak tahu harus berkata apa selain pertanyaan yang ada dipikiranku

"Kamu sendiri sedang apa ?", ia malah balik bertanya kepadaku

"Ya cuma baca buku aja sih", jawabku

Pembicaraan kami berlanjut dan ia mulai bertanya tentang aku. Aku pun merasa kalau ia sangat asyik dalam berbagi cerita. Disitulah awal kedekatan kami hingga tak terasa sudah satu tahun. Hubungan kami ternyata menjadi lebih signifikan dan mengarah kepada keseriusan. Semakin lama hubungan kami semakin hangat, sebab rasa kedewasaan yang semakin hari semakin tumbuh dan berkembang. Bagaikan kelopak bunga yang tidak mau gugur ketika mekar. Hampir setiap waktu kami saling mengevaluasi tentang hari-hari yang telah kami lewati. 

Dari evaluasi itu apabila ada hal yang ganjil, kami mendiskusikannya, saling mengoreksi, dan segera mencari jalan keluar bagaimana langkah sebaiknya. Begitu sangat bermakna hari-hari kami lewati, membuat aku tidak ingin pisah darinya, bahkan tak pernah terlintas dalam pikir untuk melepasnya. Dia adalah seorang kekasih sekaligus guru bagiku. Kamipun selalu bersama dan mengerjakan tugas secara bersama-sama.

Tapi belakangan ini aku tak masuk kuliah, pagi itu aku pingsan dan masuk rumah sakit. Ia berusaha menghubungiku dan ia begitu khawatir kepadaku. Kemudian temanku menelponnya dan memberitahukan kalau aku masuk rumah sakit. Setelah pulang kampus ia bergegas menuju rumah sakit. Ia menghampiriku yang sedang terbaring lemas dan aku mengatakan kalau aku baik-baik saja, cuma saja hanya kelelahan karena aktifitas.

Dalam sebulan aku masuk rumah sakit sebanyak 6 kali, akupun tahu bahwa aku memiliki penyakit tumor dikepalaku yang kata dokter aku hanya memiliki waktu bertahan paling lama 3 bulan. Aku terkejut mendengar berita itu, tapi harus bagaimana lagi ? Mungkin ini jalan Tuhan untukku, aku harus kuat. Setiap harinya aku berdoa agar aku bisa diberikan kesempatan hidup lebih lama, ku ingin memberikan sedikit kebahagiaan untuk orang-orang yang ada disekitarku. Aku sengaja tak memberitahunya mengenai penyakitku ini, aku takut ia merasa kasihan kepadaku. Aku ingin tak ada seorangpun yang tau mengenai penyakitku ini, ku ingin cukup aku saja yang merasakan hal ini.

Pagi itu adalah hari ulang tahun Laila yang bertepatan dengan tanggal 26 September. Di hari spesial itu aku pun ingin membelikannya sebuah hadiah. Hadiah yang mendekatkannya dengan Allah, hadiah yang dimana dia selalu mengingatku dan hadiah yang melambangkan betapa aku sangat menyayanginya, hadiah yang tak akan lekang oleh waktu. Hingga kuputuskan hadiah yang kuberikan adalah "Sebuah Al-Qur'an Saku".

Ku telpon dia dan ku ajaknya untuk makan malam. Dalam pikirku ingin sekali memberinya sebuah kenangan di memori indahnya. Lewat sebuah kenangan itu setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk melihat senyum manisnya sekali lagi.

Malam pun tiba dan kami berkencan mengumbar kemesraan membalas dendam rindu melebihi rindu dendam Adam dan Hawa. Tibalah waktu untukku memberikannya.

"Ini hadiah ulang tahunmu", seraya aku menyodorkan bingkisan

"Apa ini Rahmat ?", jawabnya dengan antusias

"Bukan apa-apa hanya sekedar bingkisan di hari ulang tahunmu", ucapku dengan manis

"Apa sih isinya ?", tanyanya sambil menggoda

"Kado itu tidaklah mewah, itu hadiah biasa. Hanya saja lewat hadiah itu kuharap engkau tak pernah melupakanku", jawabku sambil tersenyum dan menahan air mataku menetes.

"Kau kasihku tak akan pernah terlupakan", jawabnya dengan nada tegas yang hanya kubalas dengan senyuman.

Malam semakin larut hingga kami berdua memutuskan untuk pulang. Dalam perjanan pulang perasaanku sangatlah lega. Setidaknya aku masih melihat senyum manisnya serta memberinya sebuah kenangan di sisa-sisa umurku. Dalan bingkisan itupun sudah kusisipkan sebuah surat. Tentang perasaanku yang paling dalam, tentang makna Al-Qur'an Saku dan tentang takdir yang harus kami lalui.

25 Februari 2017 ditulis sambil minum kopi ditemani rintik hujan oleh Ade Ivan Al Haroma

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun