Bungaku mekar untuk kesekian kali. Merekah renyah violet, purple bercampur magenta beriringan. Merantai kelopak bertumpuk embun. Laksana butiran mutiara berkilau diterpa kilatan mentari yang baru menyapa. Aku tertegun sedikit mendekat. Sekadar mengucap, kau menyihirku membuat terjerat.
Mahkota bergelayut pada kelopak yang membungkuk sedikit condong ke barat. Memberi ruang leluasa mahkota bunga bermekaran bermunculan. Melirik sedikit sambil manggut-manggut. Silakan kau gelitik ruang sanubariku dengan senyum penuh jampi pemikatmu.
Kelopak tak bisa merengkuh mendekap sang mahkota lebih lama. Hanya sesaat sebelum mekar menjadi miliknya. Tatkala pagi menjelang seiring mahkota mengembang. Akan datang jodohnya yang pasti membawanya pulang.
Kelopak tersenyum merentangkan sayap agar mahkota muncul berwarna-warni. Di antara daun yang menghijau dan tangkai kokoh berpegangan. Merekat dengan erat jejak-jejak warna agar terbungkus kuat. Rapatkanlah lenganmu, labuhkanlah dagumu di bahuku yang kokoh. Bisik kelopak memberi anggukan tanda persetujuan.
Aku, kelopak bunga hanya sebagai penjaga jiwamu. Tak mampu melebihi pemilikmu. Ragamu walau dekat tak mampu disentuh. Ada ragu karena aku tak mampu menjelma seperti kupu-kupu. Aku hanya bisa memandang dan menerawang dari warna terpancarkan. Sungguh kunanti kau mekar kembali walau tak bisa memiliki.Â
Bandung Barat, 28 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H