"Suasana di kota santri, asyik senangkan hati". Sayup-sayup terdengar timbul tenggelam dalam jiwa, musik irama gambus, yang sering dinikmati dari siaran radio dikupingku. Diantara semilir angin senja mengantarkan jejak kaki menuju surau dengan cidung tergerai hembusan angin.
Senja mulai temaram, mengiringi langkah santri kalong yang jarang tidur di kobong. Aku suka pulang bergerombol membawa obor dari kain perca kaos oblong. Berbahan bakar minyak tanah yang berjaya pada masanya. Walau dilarang selalu memaksa kadang menyelinap kabur. Aku santri kalong dengan label "suka mabal". Ini sebuah pengakuan.
Santri kalong belajar bagai berguru ke padang datar, akhirnya dapat rusa belang kaki. Mengaji ilmu agama tak utuh bentuknya. Banyak ilmu, tak sempurna dikaji. Hasilnya aku menyesal kini.Â
Aku santri kalong yang mengira belajar nanti saja kalau sudah dewasa. Ternyata itu salah. Seharusnya manfaatkan belajar dari kecil. Sudah dewasa banyak garapan yang harus dilakukan. Kini tinggal penyesalan. Menyia-nyiakan peluang menggali ilmu agama pada ahlinya.
Mengapa dulu tak belajar serius? Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal banyak kesempatan. Asal mau, tak ada iuran bulanan tak ada sumbangan dana pendidikan. Semua dilakukan dengan ikhlas karena kewajiban memakmurkan mesjid dan madrosah. Mewariskan generasi yang berkarakter, sehingga menjadi manusia bertakwa. Terima kasih guru ngajiku.
Bandung Barat, 24-10-020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H