Bukankah kita janji memilin kapas menjadi benang di bawah pohon sawo yang sepuluh tahun lalu kita tanam? Padahal bunga sudah mekar. Bakal biji sudah hadir. Tinggal beberapa kudapan dihabiskan bisa kita nikmati hasilnya. Ternyata kau bohong.
Bukankah kita janji memetik melati untuk pewangi aroma teh yang diseduh setiap pagi? Sambil bercengkrama berpegangan sepuluh jari. Sandaranku masih kuat menopang dagumu. Penciumanku masih tajam menikmati aroma peluhmu yang menyesakkan. Ternyata itu palsu.
Bukankah kita janji menenun enau menjadi tikar untuk berbaring berhadapan? Menjalin berpilin bolak balik seirama pakan dan lusi. Saling berbagi dan mengasihi. Ah, hanya basa basi.
Bukankah kita janji memeras keringat membentuk bata untuk pembatas dinding kaca? Mendirikan benteng setia yang akan dibina dengan secawan madu dan santan. Menghiasi pelangi dengan lukisan bola mata. Itu hanya omong kosong.
Biarkan janji menguap sendiri. Seiring detik waktu yang mengiringi. Belum sempurna kebahagiaan kurasakan. Kau terbang jauh pergi tanpa pamit. Padahal aku telah berjanji kau dan aku akan saling melengkapi. Semua tipuan mata.
Kini aku jomlo lagi. Kemana mencari pasangan yang seia sekata? Mengapa kau terbang wahai pacar? Hanya dirimu yang ada dalam benakku. Bawalah janjiku untuk setia menantimu! Ternyata janjimu bergenre horor untukku.
Bandung Barat, 12-10-020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H