Mohon tunggu...
Ade Irawan
Ade Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang yang berlatar belakang ilmu sosial dan politik, menulis di sini untuk mengasah kritis pikir serta memperdalam pemahaman atas isu multidimensional melalui tulisan-tulisan reflektif dan analitis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saatnya Pertanian Indonesia Menjadi Inklusif, dan Itu Tanggung Jawab Kita Bersama

3 Februari 2025   10:56 Diperbarui: 3 Februari 2025   14:23 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga tahun lalu, saya memutuskan untuk mencoba bertani padi. "Ada lahan keluarga yang menganggur, kenapa tidak diberdayakan?" pikir saya kala itu. Bayangan tentang hamparan hijau yang subur, hasil panen yang melimpah, dan kepuasan melihat sesuatu tumbuh dari tanah yang saya kelola sendiri seketika memenuhi kepala.

Di luar dugaan saya, ternyata bertani tidak mudah. Ada banyak sekali tantangan yang harus dihadapi seperti ongkos produksi yang mahal, akses pasar yang sulit dijangkau, hingga tantangan eksternal seperti climate change. Bahkan di akhir tahun 2022, sawah saya hampir gagal panen akibat hujan terjadi sepanjang tahun dan menyebabkan banjir di banyak sawah di Jawa Tengah.

Keputusan sederhana untuk menggarap lahan sawah ternyata membawa saya masuk ke dalam rabbit hole dan membuka mata saya pada kenyataan pahit pertanian Indonesia.

Bertani itu mahal, setidaknya bagi kebanyakan petani kecil. Bagi juragan dengan modal besar dan lahan luas, biaya produksi bisa ditekan karena skala panennya cukup besar untuk menutupi pengeluaran. Modal yang keluar akan kembali berkali lipat. Namun, bagi petani gurem seperti saya, ceritanya berbeda. Dengan luas lahan yang terbatas, hasil panen sering kali hanya cukup untuk menutup ongkos produksi, tidak memberikan keuntungan yang layak. Ironisnya, kondisi seperti inilah yang justru mencerminkan mayoritas petani di Indonesia.

Saya masih bisa bernapas lega karena pertanian bukan mata pencaharian utama. Tapi bagaimana dengan mereka yang bergantung sepenuhnya pada pertanian untuk bertahan hidup? Dengan biaya produksi yang terus meroket, kesejahteraan rasanya semakin jauh dari genggaman.

Salah satu tantangan terbesar pertanian padi adalah pupuk. Pupuk non-subsidi harganya selangit dan mencarinya pun tidak mudah. Bahkan, membeli pupuk non-subsidi bisa terasa seperti transaksi barang ilegal. Penjual akan menginterogasi pembeli, memastikan apakah mereka benar-benar petani atau hanya perantara. Akhirnya, pilihan paling masuk akal adalah pupuk subsidi, yang meskipun lebih terjangkau, stoknya sangat terbatas.

Masalah tidak berhenti di situ. Setelah berhasil menanam dan memasuki masa panen, petani masih harus menghadapi tantangan lain yang tak kalah pelik, yaitu menjual hasil panen. Akses pasar bagi petani kecil seperti labirin tanpa jalan keluar. Tanpa jaringan distribusi yang memadai, petani terpaksa menjual hasil panen mereka ke tengkulak. Pilihan yang pahit, memang. Tetapi sering kali itulah satu-satunya jalan paling masuk akal.

Dalam pertanian padi yang saya geluti, harga gabah yang ditentukan pemerintah seharusnya bisa menjadi acuan, tetapi realitas di lapangan jauh berbeda. Tengkulak memiliki standar sendiri dalam menaksir harga dan sering kali penentuan harga itu hanya berdasarkan luas garapan serta perhitungan mereka sendiri. Petani memang punya pilihan untuk tidak menjual ke tengkulak, tetapi pilihan itu datang dengan konsekuensi besar. Mereka harus mengurus sendiri proses distribusi hingga produk siap sampai ke tangan konsumen akhir. Sayangnya, itu bukan opsi yang realistis bagi sebagian besar petani yang tidak memiliki cukup modal, infrastruktur, atau pengetahuan untuk mengelola hasil panen sendiri.

Di sinilah letak paradoksnya. Petani adalah produsen utama pangan, tetapi mereka justru tidak punya kendali atas hasil kerja mereka sendiri. Pada akhirnya, menjual ke tengkulak menjadi keputusan yang paling masuk akal. Bukan karena menguntungkan, tetapi karena kebutuhan hidup sehari-hari tidak bisa menunggu.

Di luar faktor ekonomi, petani juga harus menghadapi ancaman eksternal seperti perubahan iklim. Pola cuaca yang tidak menentu, musim hujan yang datang lebih lambat atau lebih cepat dari perkiraan, hingga serangan hama yang semakin sulit dikendalikan menjadi tantangan besar yang tidak bisa diatasi hanya dengan kerja keras. Mirisnya, masalah ini sebetulnya hasil dari pertanian itu sendiri. Pertanian tidak ramah lingkungan yang salah satunya dilakukan melalui praktik monokultur, membuat alam berontak mencari keseimbangan baru. Petani yang tidak memiliki akses informasi pada hal ini, kurang bisa menyesuaikan diri. Tanpa sistem pertanian yang lebih adaptif dan kebijakan yang berpihak pada petani, mereka dibiarkan berjuang sendiri menghadapi ketidakpastian ini.

Merasakan sendiri sulitnya bertani di Indonesia, saya jadi berpikir, bagaimana mungkin petani yang memiliki peran krusial dalam ketahanan pangan nasional justru harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup? Tantangan-tantangan ini bukan hanya masalah individu, tetapi bagian dari persoalan struktural yang membutuhkan solusi lebih dari sekadar intervensi di satu sektor saja.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Kita perlu menyadari bahwa masalah pertanian Indonesia adalah masalah bersama. Karena sejatinya sistem pangan adalah ekosistem yang melibatkan semua orang. Bukan hanya petani yang bekerja di sawah, tetapi juga konsumen yang membeli produk pertanian, pelaku industri yang mengolah hasil panen, hingga pemerintah yang menentukan kebijakan. Tanpa keterlibatan aktif dari setiap elemen di dalamnya, pertanian Indonesia tidak akan mengalami perubahan yang berarti.

Ludwig von Bertalanffy dalam general theory system menunjukan bahwa, suatu sistem tidak bisa dipahami hanya dari bagian-bagiannya secara terpisah, melainkan dari bagaimana elemen-elemen di dalamnya saling berinteraksi. Saya pikir, sistem pangan juga bekerja dengan cara yang sama. Jika satu elemen, dalam hal ini petani kecil, dibiarkan terus-menerus berada dalam posisi yang rentan, maka ketidakseimbangan ini akan berdampak pada seluruh sistem. Salah satu contohnya yang sering kita jumpai yaitu ketergantungan pada impor pangan.

Michael Carolan, seorang sosiolog yang banyak meneliti isu pangan, dalam bukunya berjudul The Real Cost of Cheap Food, mengkritik bagaimana masyarakat modern sering kali terputus dari sistem pangan yang menopang mereka. Konsumen hanya melihat harga murah di rak supermarket atau pasar tradisional, tanpa menyadari bagaimana produk pangan sampai ke sana atau siapa yang membayarnya dengan keringat dan ketidakpastian hidup. Jika kita terus mempertahankan cara pandang ini, maka tidak ada dorongan untuk merubah sistem ke arah yang lebih adil.

Lalu, bagaimana menjadikan pertanian lebih inklusif, dan bukan hanya urusan petani, pemerintah, dan para pemikir di bidang pertanian saja?

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat hubungan antara produsen dan konsumen melalui sistem pangan berbasis komunitas. Model seperti Community-Supported Agriculture (CSA), yang telah sukses diterapkan di berbagai negara, bisa menjadi inspirasi. Dalam sistem ini, konsumen tidak hanya membeli produk pertanian, tetapi juga ikut berinvestasi dalam proses produksinya, berbagi risiko dengan petani, dan menciptakan rantai distribusi yang lebih adil.

Selain itu, partisipasi aktif dalam kebijakan pangan juga menjadi kunci. Di banyak negara, gerakan food sovereignty telah menjadi alat bagi komunitas untuk menuntut kebijakan pertanian yang lebih berkeadilan, memastikan bahwa akses terhadap pangan berkualitas tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar, tetapi juga pada prinsip keadilan sosial dan lingkungan.

Namun, menjadikan pertanian lebih inklusif tidak cukup hanya dengan mengadopsi model seperti CSA atau memperjuangkan food sovereignty dalam kebijakan pangan. Ada banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh berbagai kelompok sosial sesuai dengan posisi dan peran mereka dalam sistem pangan.

Karena itu, tulisan ini bukanlah akhir, tetapi awal dari eksplorasi lebih dalam. Ini adalah tulisan pertama dari total 6 tulisan seri esai yang saya rencanakan untuk dapat mengurai pendekatan-pendekatan konkret yang bisa dilakukan oleh lima kelompok sosial berbeda dalam pertanian Indonesia. Lima kelompok tersebut adalah pekerja kreatif dan anak seni, generasi muda perkotaan, penggemar budaya pop asia, ibu rumah tangga modern, dan kelas menengah perkotaan. Setiap kelompok ini memiliki peran yang berbeda, tetapi semuanya dapat berkontribusi dalam menciptakan sistem pangan yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun