Teknik menulis buku dalam bentuk surat bisa kita dapati pada Max Havelaar-nya Multatuli. Buku yang pernah mengguncangkan kekuasaan Belanda di Indonesia pada abad 19. Bacaan wajib bagi kaum pergerakan. Karena jika orang tidak membaca Max Havellar, maka dia tidak akan mengenal sejarah dan karakter bangsa Indonesia secara utuh. Dengan redaksi berbeda, Pram (Baca: Pramoedya Ananta Toer) pernah mengatakan ini di sebuah wawancara dengan Max Lane.
Tak ketinggalan, ada beberapa karya Pram yang digarap dengan teknik Epistolary. Hoakiao di Indonesia salah satunya. Buku yang mengantarkan Pram ke penjara pada tahun 60-an itu, Â berisi sembilan surat untuk sahabatnya yang di Tiongkok.
Dan, sebagai Magnum Opus dari Epistolary-nya Pram adalah: 2 Jilid Nyanyi sunyi seorang Bisu. Kumpulan surat-surat tak terkirim dari Pram untuk anak-anaknya. Surat-surat yang ditulis dari pulau buru selama dalam masa pembuangan .
Di era milenial, surat memiliki fungsi yang sama, tetapi berubah sangat-sangat berbeda dari sebelumnya. Kini kita terbiasa dengan surat tanpa kertas (paperless). Kita bisa menyebutnya dengan: E-mail. Hampir seluruh aktifitas online kita bersinggungan dengan E-mail. Semua database pribadi harus terverifikasi lewat E-mail.
Surat, walaupun kini telah berubah wujud, secara fungsi masih tetap sama. Sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam bentuk tulisan.
Masih Sama fungsinya dengan surat yang ditulis untuk gadis kecil dan mungil teman kecil kita itu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H