Oleh: Ade Imam Julipar
15-04-19
Seperti pagi-pagi sebelumnya, setiap berangkat ke kantor saya selalu menyempatkan membeli bubur ayam di Mas Yon, tukang bubur yang mangkal di depan salah satu Rumah Sakit di daerah Tangerang.
Rasanya berbeda dengan bubur-bubur kebanyakan yang pernah saya beli. Yang pasti: Enak. Makanya saya selalu membeli bubur di Mas Yon.
Tetapi Mas Yon sering tidak berjualan. Kalau Mas Yon tidak berjualan biasanya dia pulang kampung ke Brebes. Itu yang dikatakan Mas Yon kalau saya tanya kenapa dia beberapa hari kemarin tidak berjualan.
Dan tadi pagi pun saya membeli bubur di Mas Yon. Di sela-sela Mas Yon membuat porsi bubur untuk saya, saya bertanya kenapa dia tidak pulang kampung untuk mencoblos. Jawaban Mas Yon sungguh di luar dugaan.
" Nyoblos engga penting!" kata Mas Yon sambil tersenyum.
" Siapa saja yang jadi, tetap saja saya cuma tukang bubur." Lanjut Mas Yon.
Sambil menyantap bubur, pikiran saya pun bermain-main dan melonjak-lonjak mencari hubungan antara pemilu dengan profesi orang. Tetapi hubungan itu tetap rapih tersembunyi tak kunjung saya temukan.
Mas Yon merupakan gambaran umum dari masyarakat yang berada di akar rumput. Mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada tingkat elite di negeri ini.
Mereka hanya peduli bagaimana besok usaha atau dagangan mereka bisa laku. Tak jarang mereka tidak memperdulikan keuntungan. Karena manajemen yang dipakai masih konvensional. Yang penting mereka bisa berjualan, sorenya mereka bisa belanja. Kemudian besoknya mereka bisa berjualan lagi. Begitu seterusnya.
Berpikir tentang pemilu merupakan sebuah kemewahan tersendiri. Itu di luar wilayah keseharian mereka.
Gambaran seperti ini merupakan cerminan dari partisipasi politik masyarakat di tingkat bawah. Â Kalaupun ada, itu mungkin hanya sebatas memakai kaos yang dibagikan saat kampanye. Tidak lebih dari itu.
Hal ini bukan karena ketidakcerdasan masyarakat bawah. Justru ini merupakan refleksi dari masyarakat yang sudah sadar akan posisi mereka. Mereka sudah kebal dengan janji-janji kampanye. Karena mereka menyaksikan dan merasakan sendiri apa yang dijanjikan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi selanjutnya.
Jadi, tingkat partisipasi politik masyarakat kelas bawah yang rendah akumulasi dari kekecewaan berulang yang mereka alami.
Jika kita melihat hasil survey, ternyata golput berada di kisaran 20 persen. Ini sebuah angka yang cukup besar. Artinya, masih banyak Mas Yon lainnya di luar sana yang tidak tertarik dengan apa yang terjadi di dunia politik Indonesia.
Dulu kita sering mendengar: Para calon yang membodohi masyarakat. Sekarang situasinya terbalik: Masyarakat lah yang membodohi calon. Calon yang sudah habis-habisan mengeluarkan: Uang, waktu, dan tenaga tidak mendapatkan hasil karena masyarakat tidak memilih mereka. Karena masyarakat tahu, apa yang sudah dikeluarkan si calon, ujung-ujungnya harus diganti. Atau harus balik modal.
Tentu kita masih ingat ketika di bangku SMP Kelas 2, di satu senin pagi, setelah upacara bendera, guru Ekonomi menerangkan tentang konsep titik impas. Dimana segala dan semua yang sudah dikeluarkan untuk sebuah usaha, sampai pada satu titik kita mendapatkan hasil  yang sama persis dengan apa yang sudah dikeluarkan. Mungkin konsep ini lebih kita kenal dengan sebutan Break Even Point.
Ya, titik inilah yang akan dikejar oleh para semua calon. Mereka akan mengeluarkan semua jurus-jurusnya untuk mencapai titik impas atau Break Even Point dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atas hasil usahanya sebagai calon.
Hal ini senafas dengan prinsip ekonomi yang menyatakan dengan usaha yang sekecil-kecilnya, untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Apalagi kita mafhum, usaha yang sudah dilakukan para calon itu tidak lah dalam skala kecil.
Kita tidak bisa menutup mata ada motif ekonomi dibalik setiap pencalonan para calon itu. Masyarakat sudah tahu akan hal ini, karena ini sudah menjadi rahasia umum.
Kita sering melihat di masa sekarang ini calon-calon yang mendatangi masyarakat ke pelosok-pelosok. Sebagai orang timur yang menjunjung adat, tentu saja setiap tamu akan disambut dengan hangat dan baik.
Tetapi masalah memilih? Itu benar-benar keputusan yang sangat personal. Private. Tidak seorang pun bisa mendiktenya. Bahkan kalaupun masyarakat mengambil keputusan: Memilih untuk tidak memilih. Seperti yang dilakukan Mas Yon. Mereka sudah paham betul bahwa memilih adalah sebuah hak, bukan sebuah kewajiban.
Hak bisa digunakan, bisa juga tidak digunakan. Terserah orang per orangnya. Jadi, orang bebas menggunakannya: Memilih untuk memilih atau memilih untuk tidak memilih. Â Keduanya sama-sama: Memilih.
Salam