Saya termasuk salah seorang yang kurang begitu menyukai kegiatan memancing. Salah satu alasannya : saya tidak bisa berenang. Karena orang kebanyakan memancing di sungai atau di laut. Dua tempat yang disebutkan  itu adalah sekumpulan air. Berbicara sekumpulan air, saya ada pengalaman buruk dengannya. Seperti yang pernah saya tulis pada tulisan-tulisan sebelumnya. Saya hampir tenggelam di sekumpulan air itu karena tidak bisa berenang.
Ada hal menarik ketika berbicara memancing. Dulu waktu di kampung asal, saya punya tetangga depan rumah yang hobi memancing. Dia supir angkutan umum. Kalau sedang tidak bekerja dia mengisi harinya dengan pergi memancing.
Pernah pada satu kesempatan saya memperhatikan dia membuat Pancing. Pancing yang terbuat dari bambu. Setelah membelah bambu panjang menjadi beberapa bagian, dia serut satu bagian menjadi sebuah Pancing. Dia haluskan Pancing itu dengan pecahan botol. Â Atau dalam bahasa sunda: Beling.
Nah, kemudian sampailah pada bagian menariknya -- seperti yang saya sebutkan di atas.
Dia luruskan di depan  secara horisontal Pancingnya, kemudian dia melakukan gerakan menjengkal dengan kedua tangan sambil berkata:
Niis.....Mais....Manggang....Mindang....... Niis.....Mais....Manggang....Mindang....... Niis.....Mais....Manggang....Mindang.......
Dia mengucapkan itu dengan berirama. Jadi seperti sebuah lagu. Atau mungkin terdengar seperti sebuah mantra. Â Di tiap akhir kata ada hentakan intonasi. Pokoknya 'Nice to hear" deh.
Niis jengkal pertama, Mais jengkal kedua, Manggang jengkal ketiga, Mindang jengkal keempat. Di jengkal kelima dia balik lagi pada kata: Niis. Begitu seterusnya sampai pada ujung Pancing yang runcing.
Ketika sampai pada ujung Pancing yang runcing, dia menyebut: Mindang, dan di ujung Pancing itu masih ada sisa batang pancing. Dia mengambil pisau, memotong sisa batang pancing itu.
Setelah  memotong, dia menjengkal lagi batang pancing bambu itu dari ujung yang besar sampai ke ujung yang kecil. Dia lakukan sambil berkata persis sama dengan yang pertama. Sambil menjengkal berkata:
Niis.....Mais....Manggang....Mindang....... Niis.....Mais....Manggang....Mindang....... Niis.....Mais....Manggang....Mindang.......
"Pas!" teriak dia penuh kegembiraan. Ya, saya juga melihat dia menjengkal pancing itu pas habis di kata  'Mindang'  pada batang pancingnya.
Ya, apa yang tetangga saya lakukan itu adalah refleksi dari keinginan dia untuk mendapatkan hasil memancing yang memuaskan. Ada kepercayaan dari tradisi leluhur yang dia pegang. Kalau ingin mendapat ikan yang banyak dan besar-besar, maka ketika membuat pancing harus dijengkal. Sampai jengkal itu berhenti di kata Mindang.
Di satu sore hari yang agak basah, saya melihat tetangga depan rumah ini pulang memancing. Tentu dengan pancing barunya. Apakah memang karena manjur jengkalan dia ke batang pancingnya, atau karena ada hal lain. Dia membawa ikan berukuran besar dalam jumlah yang banyak dalam satu kantung plastik besar. Tetapi saya curiga, dia mungkin ke pasar ikan dulu sebelum pulang ke rumah. Karena yang saya tahu istrinya akan marah besar kalau dia pergi memancing tidak mendapatkan hasil.
Kata: Â Niis, Mais, Manggang, dan Mindang adalah kata dari bahasa Sunda.
Niis adalah memakan sesuatu dengan sedikit dan dalam bentuk yang kecil. Jadi, ini adalah serendah-rendahnya hasil. Kalau dikorelasikan dengan memancing menurut kepercayaaan dan keyakinan tetangga saya itu, jika jengkalan batang pancing berhenti di Niis, maka hasil memancingnya hanya akan mendapat ikan satu ekor dan kecil.
Pengertian Mais adalah membuat makanan dari  sesuatu yang kecil tetapi jumlahnya banyak. Jadi, kalau jengkalan batang pancing berhenti di Mais, maka hasil memancingnya akan mendapat ikan kecil-kecil tetapi banyak.
Kemudian pengertian Manggang adalah membuat makanan dari sesuatu yang besar yang berjumlah satu. Kalau jengkalan batang pancing berhenti di Mais, maka hasil memancingnya akan mendapatkan ikan yang besar hanya satu ekor.
Dan yang terakhir adalah Mindang. Dan inilah hasil yang diinginkan oleh semua orang. Mindang adalah membuat makanan dari sesuatu yang besar dan juga banyak. Jadi, kalau jengkalan batang pancing berhenti di Mindang, maka hasil memancingnya akan sangat memuaskan.
Itulah sebuah tradisi dalam dunia pancing memancing  yang diwariskan oleh leluhur di kampung saya. Dan itu diyakini oleh tetangga saya. Apakah ini termasuk dalam konsep kearifan lokal? Entahlah. Yang pasti, tetangga saya yang satu itu memegang tradisi yang diyakininya.
Ternyata Konsep Niis, Mais, Manggang, dan Mindang ini tidak hanya berlaku di dunia pancing memancing saja. Tetapi berlaku juga di dunia nyata sehari-hari.
Orang mencari penghidupannya tentu ingin dalam kategori Mindang. Mendapatkan sesuatu yang besar dalam jumlah yang banyak. Entah itu keuntungan dari berjualan kerak telor. Atau entah itu sisa dari setoran supir angkot. Yang pasti semua kegiatan bisnis orientasinya pasti akan kesana. Ingin "Mindang".
Tetapi kenyataan memang tidak selamanya sesuai dengan harapan. Orang boleh berharap ingin Mindang, tetapi adakalanya harapan itu tinggal sebuah harapan. Yang didapat  bisa saja: Manggang, Mais, atau bahkan Niis.  Dan, sejatinya,  itu bukan kewajiban kita. Bukan kewajiban harus Mindang. Kewajiban kita hanyalah berusaha. Perkara hasil, itu soal lain.
Di bagian lain, Kata: Â Niis, Mais, Manggang, dan Mindang ini pun bisa kita jadikan acuan kategori untuk mengukur --baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif -- penghasilan kita. Ya, kondisi finansial kita bisa kita ukur dengan parameter: Niis, Mais, Manggang, dan Mindang.
Diposisi manakah kita? Apakah di Niis? Mais? Manggang? Atau Mindang? Â Ternyata ukuran penghasilan kita hanyalah jengkalan-jengkalan batang pancing dari bambu.
Dan mungkin beberapa dari kita kemudian berandai- andai. Andai saja hidup semudah menjengkal batang pancing. Tetapi memang hidup bukan jengkalan-jengkalan batang pancing yang mudah kita atur sesuai kehendak kita.
Salam Dari Benteng Betawi.
Oleh: Ade Imam Julipar
19-12-18