Oleh: Ade Imam Julipar
06-08-18
Setiap pernyataan harus dilihat dari konteksnya. Jangan sampai melahirkan tafsir yang tidak sesuai dengan kehendak si pembuat pernyataan. Memang tak bisa dipungkiri akan ada multitafsir dalam sebuah pernyataan.
Tapi kadang-kadang penafsiran yang berbeda (baca: negatif) itu bisa dipicu hanya karena faktor like or dislike. Ya, suka atau tidak sukanya sang penafsir pada si pembuat pernyataan.
Tentu hal ini akan mematikan akal sehat. Penafsiran jadi “semau gue”. Mencerabut kata atau kalimat dari konteksnya. Yang pada gilirannya timbul pemahaman yang tidak utuh atas sebuah pernyataan. Ujung-ujungnya bukan lagi menguji pernyataan pada wilayah benar atau salah. Tetapi lebih pada hasrat menang atau kalah. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan –untuk tidak mengatakan menakutkan.
Adalah Jokowi, presiden republik ini, dalam satu kesempatan baru-baru ini melontarkan sebuah pernyataan, dan saya kutipkan secara lengkap bagian yang mempunyai kesatuan ide pokok tersebut:
“Nanti apabila masuk ke tahap kampanye, lakukan kampanye yang simpatik, tunjukkan diri kita adalah relawan yang bersahabat dengan semua golongan, jangan membangun permusuhan, sekali lagi jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela.tidak usah suka menjelekkan orang lain, tapi kalau diajak berantem juga berani.”
Kalau kita telisik lebih cermat, ide pokok dari alinea itu adalah: Musuh jangan dicari, ketemu musuh jangan lari. Inilah pokok pikiran dari pernyataan tersebut.
Kemudian orang-orang di seberang sana pun ramai mempersoalkan pernyataan ini. Mereka seperti mendapat angin segar. Mereka melihat sebuah target menganga untuk ditembak. Ya, tafsiran pun muncul dengan berbagai bentuk dan isi. Ramai dan terasa gaduh.
Seolah-olah, ya seolah-olah, pernyataan itu mengajak orang untuk melakukan kekerasan. Padahal jelas-jelas ada nada sejuk di kalimat-kalimat awal. Kalau diujung kalimat ada ajakan yang menyerupai provokasi hal itu sebuah kewajaran dan memang sudah sepantasnya.
Ketika sampai pada paragraf ini, saya teringat seorang tua di kampung asal saya. Orang tua itu bernama pa Suhandi. Dia bekas orang Murba. Murba adalah sebuah partai politik bentukan dari Tan Malaka pasca kemerdekaan. Dari pa Suhandi ini saya kali pertama mendengar adagium: Si vis pacem, para bellum. Konon kata pa Suhandi itu dari bahasa Latin. Kalau di-Indonesia-kan kurang lebih pengertiannya: Kalau mau damai, harus siap perang.
Ya, kalau ingin damai, kita harus siap berperang. Secara psikologis ini akan membuat musuh “keder”. Berbeda situasinya jika kita tidak siap berperang atau lemah. Musuh akan berani terhadap kita.
Dan ketika musuh berani, tentu hal ini akan menimbulkan ketidakdamaian. Mereka akan mengintimidasi, menggertak, bahkan –dalam batas tertentu—melukai kita. Inilah efek psikologis dari adagium itu.
Ada kemiripan adagium ini dengan apa yang dilontarkan Jokowi. Atau Jokowi memang menterjemahkan adagium ini dalam bentuk pernyataannya? Entahlah. Yang pasti tidak ada yang salah dalam pernyataan Jokowi. Secara psikologi massa itu sah.
Saya tidak hendak memihak. Keberpihakan saya tetap pada mana yang benar. Benar secara nalar. Dan Jokowi, kali ini, benar secara akal sehat.
Bahkan dalam konsep Islam pun pernyataan semacam ini diperkuat oleh istilah qishaash. Qishaash adalah konsep balas dendam. Ini senada dengan yang diutarakan Jokowi. Dan itu dianjurkan dalam Islam.
Hutang nyawa dibayar nyawa. Hutang darah dibayar darah. Ini saya kutipkan penggalan dari Al-baqarah ayat 194: “...Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.... “
Mungkin jika Cing Sabeni yang membuat pernyataan, redaksinya akan seperti ini: Lu jual , gua beli. Dan itu senafas dengan apa yang dipaparkan semua di atas. Masih dalam satu nada, walau beda penyampaian.
Atau jika kita layangkan ingatan kita pada masa-masa revolusi 45. Di sana banyak ucapan-ucapan bijak dari para pejuang—dan itu mungkin kakek-kakek dari beberapa diantara kita -- yang mengatakan: Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta kemerdekaan. Ya, kita akan bersahabat dengan siapapun. Tetapi ketika mereka menginjak-injak kemerdekaan kita, cerita akan menjadi lain. Kita tentu akan melawan.
Jadi, prinsipnya: musuh jangan dicari, ketemu musuh jangan lari.
Salam Dari Benteng Betawi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H