Ketika sampai pada paragraf ini, saya teringat seorang tua di kampung asal saya. Orang tua itu bernama pa Suhandi. Dia bekas orang Murba. Murba adalah sebuah partai politik bentukan dari Tan Malaka pasca kemerdekaan. Dari pa Suhandi ini saya kali pertama mendengar adagium: Si vis pacem, para bellum. Konon kata pa Suhandi itu dari bahasa Latin. Kalau di-Indonesia-kan kurang lebih pengertiannya: Kalau mau damai, harus siap perang.
Ya, kalau ingin damai, kita harus siap berperang. Secara psikologis ini akan membuat musuh “keder”. Berbeda situasinya jika kita tidak siap berperang atau lemah. Musuh akan berani terhadap kita.
Dan ketika musuh berani, tentu hal ini akan menimbulkan ketidakdamaian. Mereka akan mengintimidasi, menggertak, bahkan –dalam batas tertentu—melukai kita. Inilah efek psikologis dari adagium itu.
Ada kemiripan adagium ini dengan apa yang dilontarkan Jokowi. Atau Jokowi memang menterjemahkan adagium ini dalam bentuk pernyataannya? Entahlah. Yang pasti tidak ada yang salah dalam pernyataan Jokowi. Secara psikologi massa itu sah.
Saya tidak hendak memihak. Keberpihakan saya tetap pada mana yang benar. Benar secara nalar. Dan Jokowi, kali ini, benar secara akal sehat.
Bahkan dalam konsep Islam pun pernyataan semacam ini diperkuat oleh istilah qishaash. Qishaash adalah konsep balas dendam. Ini senada dengan yang diutarakan Jokowi. Dan itu dianjurkan dalam Islam.
Hutang nyawa dibayar nyawa. Hutang darah dibayar darah. Ini saya kutipkan penggalan dari Al-baqarah ayat 194: “...Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.... “
Mungkin jika Cing Sabeni yang membuat pernyataan, redaksinya akan seperti ini: Lu jual , gua beli. Dan itu senafas dengan apa yang dipaparkan semua di atas. Masih dalam satu nada, walau beda penyampaian.
Atau jika kita layangkan ingatan kita pada masa-masa revolusi 45. Di sana banyak ucapan-ucapan bijak dari para pejuang—dan itu mungkin kakek-kakek dari beberapa diantara kita -- yang mengatakan: Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta kemerdekaan. Ya, kita akan bersahabat dengan siapapun. Tetapi ketika mereka menginjak-injak kemerdekaan kita, cerita akan menjadi lain. Kita tentu akan melawan.
Jadi, prinsipnya: musuh jangan dicari, ketemu musuh jangan lari.
Salam Dari Benteng Betawi