Etika seksual itu sendiri merupakan paham mengenai sejauh mana seseorang menghargai dan menghormati gairah seksual baik milik pribadi maupun milik orang lain. Dalam pengertian menghargai dan menghormati organ seksual dan gairah seksual terkandung makna mengenai seseorang menggunakan, melampiaskan dan mengendalikan organ serta gairah sekusalnya.
Etika seksual yang dimaksudkan adalah etika yang bersifat integratif, yakni etika yang mampu mengarahkan setiap pribadi kepada kepenuhan atau keutuhan diri. Nilai-nilai yang terkandung dalam etika seksual integratif adalah kemerdekaan diri, saling percaya, jujur dan setia, tanggung jawab, gembira dan pelayanan hidup.
Satu hal yang dapat dijadikan sebagai pijakan untuk mencari solusi dalam upaya mengembalikan etika seksual kepada martabat kemanusiaannya haruslah menjadi usaha kolektif yang berangkat dari kesadaran semua pihak sehingga tidak lagi terjadi paradoks dan ambiguitas dalam memandang problematika kehidupan seksual dalam masyarakat. Dan teristimewa kehidupan seksual para penguasa dan pemimpin.
Jika kita rajin membuka lembar-lembar sejarah dunia, banyak sudah dicatat disana bagaimana runtuhnya kekuasaan raja-raja atau pemerintahan karena sex. Dan tidak sedikit juga berdirinya sebuah  kekuasaan baru dipicu hanya karena urusan sex. Untuk yang belakangan disebut kita bisa mengambil contoh: Ken Arok.Â
Pada suatu sore yang cerah, Ken Arok tak sengaja melihat dari jauh Ken Dedes istrinya Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, naik tandu dikawal para pengawal pulang dari pemandian. Ketika itu kain panjang yang dikenakan Ken Dedes tertiup angin sehingga tersingkaplah apa yang ada di balik kain panjang Ken Dedes itu. Dada Ken Arok terkesiap melihat paha si cantik Ken Dedes yang putih dan bersinar. Jangankan melihat paha putih dan bersinar, melihat paha biasa saja orang sudah langsung nyut-nyutan kepala. Lah ini, pahanya Ken Dedes yang dilihat, yang notabene adalah wanita tercantik se-Tumapel. Libido Ken Arok pun tersulut. Tahu libido? Lidido tuh gairah seksual.
Dari situlah kemudian cerita berlanjut seperti yang pernah didongengkan guru sejarah kita waktu SD. Ken Arok membuat keris dari Empu Gandring. Dan cerita banjir darah pun dimulai. Pembunuhan demi pembunuhan dilakukan oleh Ken Arok: Empu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, dan seterusnya dan seterusnya menjadi korban pembunuhan Ken Arok. Ya, itu semua hanya karena gairah seksual Ken Arok terhadap Ken Dedes. Sampai kemudian Ken Arok menjadi raja pertama kerajaan Singhasari.
 Ya, sejarah telah mencatat dengan tinta emasnya bahwa tenggelam dan munculnya sebuah kekuasaan pada mulanya dari sex.
Bicara tentang sex dan kekuasaan kita tidak akan terlepas dari Foucault. Â Bahkan Foucault menulis satu buku dengan tema: sex dan kekuasaan. Saya kutip saja sedikit dari bagian bukunya. Walaupun yang sedikit ini sudah terasa terlalu banyak.
Foucault mengatakan: "Di dalam tubuh terpampang wujud dari kekuasaan. Kita bisa menyaksikan kekuasan dari gerak-gerik tubuh. Ia mengambil contoh bagaimana negara mengintervensi persoalan tubuh, khususnya seksualitas. Bahkan bagi Foucault seluruh sistem ekonomi, sosial dan politik dari suatu negara berkaitan erat dengan seksualitas.Â
Seksualitas berhubungan dengan populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang. Ada represi terhadap tubuh, dan represi itu adalah bentuk dari kontrol. Kekuasaan bekerja dengan cara mengkontrol, dan tubuh adalah objek yang dikendalikan dan dikuasai. Analisis Foucault semacam ini menunjukan bahwa sejarah perkembangan pemikiran manusia selalu melibatkan bagaimana suatu era memahami seksualitas."
Jadi, sex dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan. Mereka seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Ada korelasi erat antara keduanya.