Oleh: Ade Imam Julipar
19-11-17
Membaca ulang Pendidikan Kaum Tertindas-nya Paulo Freire -- yang dalam Indonesia diterbitkan oleh LP3ES -- menyingkap beberapa hal yang dulu tak sempat terkuak. Buku setebal 207 halaman ini memburaskan upaya menjadikan manusia lebih manusia. Sebuah percobaan untuk menunaikan penyadaran kolektif atas sesama. Bahwa ada sesuatu yang salah dari sistem yang dianut.
Pemahaman baru pun tercipta pada nalar saya. Mungkin konsekuensi automatisasi proses dialektis alam bawah sadar. Diksi pendidikan menjadi dialog. Dan hubungan guru-murid menjadi menjadi hubungan pemerintah-rakyat. Situasi penindasan dari sebuah sistem, menciptakan polarisasi: penindas dan yang tertindas.
Sebuah sistem idealnya adalah yang membebaskan. Dialog yang membebaskan keduanya: baik penindas maupun yang tertindas. Jadi, keduanya sama-sama terbebas dari sistem yang menindas. Sama-sama menjadi manusia bebas.
Pada halaman 52 Freire menyatakan:
"Dialog yang dialami oleh "kaum-kaum tertindas" selama ini tak ubahnya seperti dialog dengan "sistem bank". Dalam pendidikan "sistem bank", dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan rakyat hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan"
Pemerintah dianalogikan sebagai seorang nasabah, sedangkan sang rakyat adalah kotak depositnya. Pemerintah yang nabung, rakyat sebagai celengan Semarnya. Pemerintah paling tahu, dan rakyat paling tidak tahu. Jelas hal ini merupakan sebuah penindasan terselubung terhadap daya cipta dan imajinasi rakyat. Tiada ruang dialog. Berfikir kritis dianggap sebuah pemberontakan---Untuk tidak mengatakan sebuah kejahatan.
Kalau kita tarik lebih jauh lagi, ini dapat kita pakai sebagai pisau analisa untuk mencermati sebuah kebijakan pemerintah. Juga sebaliknya, jika para pengambil keputusan memahami ini, dialog yang kokoh antara penjahat dan rakyat pun akan terjalin. Eeh salah, Dialog pejabat dan rakyat pun akan terjalin kokoh.
Di halaman lain Freire menorehkan:
"Dialog yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, pemerintah di satu sisi dan rakyat di sisi lain."
Mungkin ada harapan --walaupun saya yakin harapan ini lebih pada kenaifan saya-- budaya anti dialogis, seiring proses berjalannya waktu dan pemahaman, perlahan akan hilang. Gone with the wind.
Dan sebuah harapan haruslah tetap ada pada situasi dan kondisi apapun. Sebuah harapan yang ingin menjadikan manusia lebih manusia.
Salam Dari Benteng Betawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H