Mohon tunggu...
Ade Hendraputra
Ade Hendraputra Mohon Tunggu... Insinyur - Planner - Pemerhati

Graduate Students - Waseda University, Tokyo dan master dari Washington University in St. Louis, US Mencoba menulis agar menjadi documented knowledge. Semoga bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tambah Jalur Jalan Malah Makin Macet

10 April 2023   07:47 Diperbarui: 10 April 2023   18:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jalanan Perkotaan. Sumber: Foto Pribadi

Kemacetan perkotaan kita hadapi setiap hari. Ini adalah sebuah catatan yang lama ingin ditulis lama oleh penulis melihat fenomena ini. Sering kita melihat saat mengobati jalan macet ya dengan mudah tambah aja jalurnya nanti mungkin akan lancar setelah selesai pembangunan begitu asumsi kita.

Namun berapa kali kita melihat kenyataan itu berbeda, sebagai contoh pembangunan peningkatan kapasitas Jalan Tol Japek atau Jakarta Cikampek. Mulai dari medio satu dasawarsa lalu saat ditingkatkan dari 2 jalur ke 3 jalur saat mulai tersambung dengan Tol Cipularang. 

Rasanya cuman 1 tahunan kita merasa nyaman, selepas itu langsung padat lagi. Atau yang masih terbayang beberapa tahun lalu saat membangun tol MBZ (jalan layang cikampek), begitu jadi, iya diatas jalan layang lancar betul, tapi tidak lama langsung jadi pemicu kepadatan baru di jalur pertemuan Jalur layang dan jalur bawah. Baru diperbaiki lagi dengan menambah jalur di titik tersebut.

Itulah contoh yang dekat dengan kehidupan kita. Fenomena ini seperti analogi kita menghadapi masalah pipa air yang mungkin mengalir lambat dirumah lalu dengan mudah tukang kita merekomendasikan gedein aja pipanya.

Ternyata traffic kendaraan tidak sama dengan air dirumah, berdasarkan beberapa penelitian ternyata menjelaskan manusia ternyata punya kecenderungan untuk berpindah atau bergerak dari satu poin ke poin lain sebagai bagian dari bentuk aktivitas sosial. 

Pernah merasakan bagaimana sebelum Covid, saat PPKM dan setelah PPKM sudah tidak ada, bagai ledakan perjalanan yang terjadi, ya karena fenomena ini.

Seperti gatal pengen digaruk kira-kira ya. Lama dirumah saja, jadi begitu bisa ya keluar. Begitu pula traffic, sehingga akan beda dengan bentuk air yang mengalir mengikuti jalur pipa dan grafitasi saja.

Pengalaman di Negara Lain

Lalu bagaimana contoh dinegara lain menghadapi fenomena ini? Beberapa contoh diatas pun ternyata pernah dan masih dilakukan diberbagai negara. Amerika Serikat pernah memilih opsi ini di tahun 1960 dengan menambah jalur bahkan jalan tol double decker.

Sebuah penelitian dari Turner dan Duranto pada 2009 mencoba melihat fenomena ini, dimana dengan menambah kapasitas jalan dari tahun 1980-1990 sebanyak 10 persen di sebuah kota, ternyata jumlah perjalanan di kota itu pada periode 1990-2000 pun meningkat tepat 10 persen. Sebagian berpendapat berarti para pembuat kebijakan sudah tepat memprediksi permintaan pengguna.

Namun Turner dan Duranto berpendapat bahwa karena intensitas kepadatannya sama pada kedua periode maka hal ini memberikan sinyal bahwa jalur baru menciptakan pengemudi baru atau pengguna baru.

Jika kita lebarkan sudut pandangnya, misal menambahkan jalur baru pada transportasi publik berharap masyarakat berpindah ke jalur transportasi tersebut, namun dengan teori diatas maka akan ada pengemudi atau pengguna baru yang akan memanfaatkan jalur jalan yang ditinggalkan pengguna yang pindah ke transportasi publik. Lalu bagaimana negara lain memandang fenomena ini.

Beberapa negara mulai melakukan justru berbalik dengan pemikiran awal kita diatas. Sebagai contoh, Paris secara dramatis menurunkan kapasitas dan mengurangi jumlah jalur jalan selama 1 dekade terakhir. Tentu saja kemacetan akan tetap ada tapi masyarakat merasa tidak menjadi lebih buruk.

Begitu pula kota-kota besar seperti San Fransisco yang merubah jalan menjadi jalur tram plus ada jalur tol tengah yang justru dirubah menjadi jalur jalan biasa dan menurunkan kapasitasnya sampai 75 persen. Serta banyak kota lain seperti Seoul yang sukses melakukan hal yang serupa bahkan menurunkan polusi secara signifikan. 

Dari beberapa case tersebut maka masyarakat yang dipaksa untuk berpindah karena keadaan kapasitas jalan yang terbatas. Kembali karena insting manusia yang akan selalu mencari jalan keluar.

Selanjutnya beberapa kota seperti London, Stockholm, dan Singapura memilih menggunakan pendekatan Jalan Berbayar (road pricing) atau lagi beken dengan nama ERP (Electronic Road Pricing).

Dengan langkah ini maka berharap pengemudi mau memindahkan waktu berkendaranya dengan mengatur biaya yang berbeda pada waktu yang berbeda, berharap tingkat kepadatan bisa terdistribusi dengan lebih normal.

Duranto sendiri menyampaikan bahwa cara ini perlu di kombinasikan dengan tahapan berikutnya yaitu pengaturan biaya parkir di tengah kota untuk memberikan efek yang lebih kuat.

Selanjutnya bagaimana?

Dari kasus dan penjelasan diatas, kita melihat ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi disekitaran kita namun juga di kota-kota besar di negara lain. Tentu saja contoh kota-kota tersebut tidak mengambil satu pilihan kebijakan saja dalam melihat sebuah permasalahan.

Secara umum kami melihat saat pengambilan keputusan mengenai pembatasan jalan maka kebijakan lain pun perlu dipersiapkan seperti mendorong pembangunan dan ekspansi transportasi publik. Tentu setiap kebijakan akan memiliki efek baik yang positif maupun negatif, namun bagaimana kebijakan ini bisa memiliki keinginan untuk mencapai perbaikan di masa depan dan tidak serta merta berubah ditengah jalan.

Contoh diatas pun sedikit demi sedikit mulai di akomodasi di beberapa pembangunan didekat kita, seperti jalur Sudirman Thamrin yang ditata setelah transportasi publik tersedia di jalur tersebut. Juga didekat tempat tinggal kami, jalur sentul sirkuit sampai jalan raya bogor yang dulu 4 jalur terpisah jalur cepat kan lambat dirubah menjadi 3 jalur namun diberi tempat untuk putar balik secara khusus yang dimana selama ini merupakan titik kemacetan utama. 

Saat penyebab kemacetan selama ini di address dengan desain jalan yang baik maka lalu lintas menjadi lebih baik. Cerita lain di jalur margonda yang mencoba menurunkan 4 jalur yang dipisah cepat dan lambat menjadi 3 jalur campur namun kurang di-address penyebab kemacetannya, yaitu tempat putar balik dan angkot ngetem di tempat tertentu. Sehingga tetap saja, habis dirubah macetnya disitu-situ saja dan malah makin macet karena kapasitas di kurangi tetapi botlleneck belum diperhatikan.

Dari beberapa penjelasan diatas, maka bisa kita simpulkan bahwa permasalahan kemacetan dijalan adalah kompleks dan menambah jalur jalan tidak menyelesaikan masalah secara jangka panjang. Selanjutnya tentu karena masalah kompleks maka penentukan root cause dapat di identifikasi sejak awal dan bukan menambah masalah baru yang malah lebih buruk. 

Tentunya tidak ada silver bullet yang langsung membereskan semua hal. Setidaknya artikel ini mencoba memberikan sebuah tambahan pandangan saat melakukan risk analysis pada sebuah kebijakan sehingga bisa ditimbang-timbang dengan baik sebelum mengalokasikan pendanaan yang besar dalam pembangunan infrastruktur.

Belum lagi semenjak paska pandemi Covid, pola mobilitas dan psikologi behaviour masyarakat ternyata banyak berubah.

Semoga ke depan bisa membahas fenomena ini. Terima kasih.

Referensi:

What's Up With That: Building Bigger Roads Actually Makes Traffic Worse. Wired. 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun