Saya termasuk yang menyambut baik "terobosan" yang dilakukan oleh Kemendikbudristek, terkait program Sastra Masuk Kurikulum, terlepas pro dan kontra yang ditujukan pada ratusan buku sastra yang direkomendasikan dalam program tersebut.
Pro dan kontra tersebut mesti dipandang sebagai bentuk kedewasaan publik yang literat, dan mesti dijadikan bahan kajian kementerian terkait untuk mengevaluasi kekurangan program yang gemilang ini.
Benar gemilang, sebagaimana menurut Sapardi Djoko Damono (2021), pembelajaran sastra hanya bisa berhasil ketika siswa diberikan kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan buku sastra seluas-luasnya.
Hanya dengan membaca sebanyak mungkin khazanah kesusastraan Indonesia, sastra dan bahasa Indonesia dapat dihayati dengan maksimal oleh setiap siswa di satuan pendidikan.
Sebab, sejauh pengalaman saya mengajar bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar, kurikulum yang berkaitan dengan sastra beberapa tahun belakangan hanya menghasilkan siswa yang kering penghayatannya terhadap sastra.
Akhirnya, materi sastra di sekolah hanya dipahami sebagai barang temporer yang akan berakhir tepat setelah penilaian berakhir.
Padahal, di dalam sastra, terkandung nilai-nilai yang dibentuk oleh sejarah panjang kebudayaan bangsa kita dan dia akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan peri kehidupan yang akan dilalui anak-anak tersebut di masa yang akan datang.
Sederhananya, sastra memberikan sudut pandang yang bermakna terhadap kehidupan, yang akan sangat berguna untuk anak-anak dalam mengarungi kehidupannya kelak, baik secara psikologis maupun sosial.
Nah, kehadiran Sastra Masuk Kurikulum ini tentulah perlu disambut secara positif namun tetap kritis. Sebab, program ini berpeluang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bersentuhan langsung dengan bahan bacaan sastra seluas-luasnya.
Menurut hemat saya terkait program ini, yang perlu menjadi perhatian kita bersama adalah peran dan fungsi dewan guru di sekolah.