Lebaran bukan saja lekat dengan momen saling bermaafan, pakaian baru, atau mendapatkan persenan uang jajan bagi anak-anak. Bagi sebagian orang (termasuk aku sendiri) lebaran sama dengan makan-makan.
Di momen ini Bunda jadi juru masak serba bisa. Mulai dari memasak makanan kelas berat seperti semur daging, opor ayam, atau pindang bandeng, hingga yang kelas bulu seperti kue lebaran dan kudapan khas, yang di hari-hari biasa jarang ditemukan.
Kudapan khas yang paling "ngena" di hari lebaran buatku adalah tape ketan "dikawini" uli. Khas banget masyarakat di kawasan Betawi.
Kalau Bunda bikin tape ketan dikawini uli saat lebaran, itu yang pertama kusikat setelah "gimmick" menyantap sepotong ketupat.
Rasa manis-segar hasil fermentasinya itulah... Duh, semurni manis cinta Bunda kepadaku.
Manis-segarnya itu, manakala kucocol dengan sepotong uli, berpadu di dalam lidah. Nikmatnya. Uli yang kenyal dan gurih, berpadu dengan manisnya tape ketan, membikin lidah bergoyang-goyang kegirangan.
Kononnya, tidak semua orang bisa membuat tape ketan--atau paling tidak berhasil dengan kualitas kemanisan yang pas.
Bundaku pernah bilang, bikin tape ketan perlu pengalaman. Mulai dari cermat memilih ragi, menentukan tingkat kematangan beras ketan ketika dinanak, hingga cara penyimpanan yang tepat. Kalau tidak memerhatikan faktor-faktor tersebut, alih-alih berhasil, tape ketan akan berasa hambar.
Bahkan mitosnya, sewaktu membikin tape ketan, si pembuat dan orang-orang yang melihat proses perbuatannya tidak boleh bicara sembarangan. Mesti menjaga adab, kira-kira begitulah.
Kalau sewaktu membuat tape ketan Bunda mendengar ada yang berkata kurang sopan, beliau akan langsung menegur yang bersangkutan. Di-SP dua kira-kira, "Jangan asal omong. Awas kalau ini sampai gagal," katanya, marah.