Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

ChatGPT: Makna Belajar di Simpang Jalan

19 April 2023   00:16 Diperbarui: 25 April 2023   13:32 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ChatGPT, chatbot berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) bikinan OpenAI.(KOMPAS.com/ Galuh Putri Riyanto)

Kalau Anda seorang pendidik, Anda tentu tahu betapa kita saat ini sedang berada di simpang jalan. Ya, ChatGPT--teknologi berbasis AI--membawa kita semua (pelajar dan pendidik) pada persimpangan itu.

ChatGPT, dengan kecerdasan buatannya, mampu menyediakan jawaban dari segala pertanyaan yang diajukan, dalam hitungan menit, bahkan detik!

Praktis saja ChatGPT langsung digandrungi para pelajar. Sebab mereka tak perlu berpayah-payah mencari jawaban dari membaca sumber konvensional seperti buku atau internet.

Tidak ada yang salah dari praktik semacam itu sebenarnya. Hanya saja, bergantung secara utuh pada kepraktisan tentu saja memiliki dampak yang kurang baik bagi perkembangan otak dan mental.

Jika segala sesuatu bisa tersedia dalam satu kedipan mata, para pelajar akan kehilangan penghargaannya terhadap proses. Ini sebuah dilema.

Belajar, sejatinya bukan hanya bermakna hasil. Lebih asasi dari itu belajar adalah proses. Dan, sejauh pengalaman saya, rata-rata pelajar yang berhasil adalah mereka yang memberikan ruang pada proses.

Mereka mengerti betul, pengetahuan itu mesti didekati selangkah demi selangkah. Dengan cara itulah hasil mereka adalah pemahaman, bukan sekadar tahu, apalagi sekadar dapat jawaban.

Ilustrasi ChatGPT | Sumber: leofinance.io
Ilustrasi ChatGPT | Sumber: leofinance.io

Beberapa hari lalu saya mewawancarai mahasiswa yang kerap menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. 

Dalam satu soal tugas tersebut, dia mengatakan kalau ChatGPT menjawab dengan sangat baik pertanyaan yang dia ajukan.

Dengan penasaran saya memintanya untuk menjelaskan kembali apa jawaban yang diberikan ChatGPT kepadanya itu. Tentu saja dengan gelagapan dia mengaku tidak bisa. Dia benar-benar tidak mampu menjelaskan kembali jawaban yang pernah didapatnya itu.

Terang sekali mahasiswa tersebut salah paham dengan makna belajar. Baginya, belajar sama dengan mendapatkan jawaban. Tak peduli bagaimana caranya, atau bagaimana jawaban itu membangun pemahamannya. Dia menggunakan ChatGPT layaknya seorang yang sedang menyontek!

Mendidik Mengembalikan Makna Belajar

Kalau mau jujur, mahasiswa seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Dia hanyalah hasil malapraktik dari sistem pengajaran selama tahun-tahun ke belakang, ketika belajar sama dengan menghafal jawaban untuk menjawab butir pertanyaan dalam ujian.

Makanya ketika teknologi semacam ChatGPT berada di genggamannya, yang ada dalam mindsetnya hanyalah semata-mata alat penyedia jawaban, bukan wahana belajar yang bisa digunakan untuk mengembangkan pemahaman.

Karenanya, para pendidik dewasa ini perlu menaruh perhatian pada upaya mengembalikan makna belajar sebagai proses, dan bukan hanya hasil.

Pengembalian makna itu mesti tercermin pada seluruh dimensi belajar. Dari perencanaan, implementasi pembelajaran di dalam kelas, hingga penilaian dan evaluasi.

Metode dan model pembelajaran yang digunakan mesti yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada proses, seperti inquiri, discovery learning, pembelajaran berbasis masalah dan proyek.

Dan, untuk penilaian mestilah digunakan penilaian berorientasi proses. Singkatnya, penilaian yang komprehensif dan otentik.

Meski tidak sepenuhnya dihilangkan, penilaian yang bersifat hafalan mesti dikurangi secara signifikan, dan para pendidik berfokus pada penilaian praktik, proyek, dan pemahaman, serta berpikir tingkat tinggi.

Merespons tren penggunaan ChatGPT untuk mendapatkan jawaban juga amat diperlukan dalam pembelajaran di kelas. Para pendidik bisa mengajak muridnya untuk mendiskusikan kelebihan dan kekurangan teknologi serta dampaknya pada mental manusia.

Membuka pemahaman seperti itu kepada para pelajar, meski akan memakan waktu, saya pikir sama berharganya dengan mempelajari suatu materi dalam kurikulum.

Sebab kembali seperti di muka, memahami makna belajar merupakan hakikat pendidikan itu sendiri.

Hanya dengan mengembalikan makna belajar yang seperti itu kita bisa percaya diri menghadapi tantangan teknologi yang bagai pisau bermata dua itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun