Pada kenyataannya, saat ini di lapangan pendidikan bukan hanya siswa atau masyarakat yang rendah minat bacanya. Minat baca guru pun rupanya sama saja.
Dari sekian banyak guru di suatu sekolah, hanya sebagian kecil saja kita temui memiliki tradisi membaca yang kuat. Itu bisa kita lihat dari daftar kunjungan di perpustakaan sekolah, atau dari bagaimana guru menghabiskan waktu luangnya di sekolah.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan siswa kita mengalami peningkatan dalam skor PISA dan mencintai dunia baca jika gurunya sendiri tidak akrab dengan buku dan dunia literasi?
Padahal, menurut survei PISA, siswa yang memiliki hobi membaca, capaian skornya 50 poin lebih tinggi dari siswa yang tidak hobi membaca.
Untuk itu sudah saatnya sekolah melihat persoalan lemahnya budaya baca di sekolah secara komprehensif. Agaknya tepat bagi sekolah untuk membuat program-program peningkatan minat baca bagi guru.
Sekolah harus mendorong para guru lebih dekat dengan dunia literasi, dengan menyediakan bacaan-bacaan bermutu. Bila perlu disertai dengan program wajib membaca minimal sepuluh menit setiap hari bagi para guru.
Sekolah juga bisa menyusun program yang mendorong guru menulis sebuah artikel rutin untuk ditempel di mading sekolah. Dengan menulis, guru akan membutuhkan bacaan. Maka lambat-laun akan terbiasa membaca.
Jika program-program sekolah seputar budaya baca di sekolah dilihat dan disusun secara menyeluruh seperti itu, saya sangat meyakini budaya baca di kalangan siswa dapat ditingkatkan.
Sebab pada dasarnya, dalam konteks sekolah, membaca bagi siswa bukan hanya persoalan instruksionis atau metodis sebagaimana yang telah disinggung di awal. Membaca adalah soal kebudayaan. Di dalamnya meliputi interaksi timbal-balik yang intensif melalui pemodelan guru-siswa. Secara sederhana seperti kata pepatah lama: "guru baca berdiri, siswa baca berlari".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H