Mohon tunggu...
Ade Hermawan
Ade Hermawan Mohon Tunggu... Editor - Ade Hermawan

Artikel untuk memenuhi tugas kuliah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan Tentang Hadits Dhaif dan Hadits Palsu

29 Desember 2021   14:49 Diperbarui: 29 Desember 2021   15:05 2744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan Tentang Hadits Dhaif Dan Hadits Palsu

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).

Ada 3 kategori hadits yaitu shahih, hasan, dan dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Hadits dhaif tidak sama dengan hadits maudhu’, atau palsu. Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sementara hadits maudhu’ ialah informasi yang mengatasnamakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah SAW. Muhadditsin membagi hadits ke dalam tiga kategori: shahih, hasan, dan dhaif. Kategori ini dibagi berdasarkan kualitas hadits dengan ukuran kualitas perawi dan ketersambungan sanadnya. Kualitas hadits yang paling tinggi adalah shahih, kemudian hasan, dan terakhir dhaif.

Ulama sepakat bahwa mengamalkan hadits dhaif dibolehkan, selama tidak berkaitan dengan hukum halal dan haram, akidah, dan hanya sebatas fadha’il amal. Dengan demikian, menyampaikan hadits dhaif, seperti mengutip hadits dhaif dalam buku atau menyampaikannya dalam pengajian dan majelis taklim dibolehkan.

Banyak orang yang mengatakan bahwa hadits dhaif itu sama seperti hadits maudhu/palsu. Padahal perbedaannya sangat jelas seperti di pembahasaan awal. Berikut contoh dari hadits dhaif : Diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sholat 6 rakaat setelah sholat maghrib dan tidak berbicara sedikit pun di antara sholat tersebut, maka baginya sebanding dengan pahala ibadah selama 12 tahun.”

Imam ahmad dan Yahya bin Main mengatakan bahwa hadits dari Umar tersebut adalah dhaif dan tidak bernilai sama sekali. Ini sependapat dengan Imam Bukhari bahwa hadits tersebut termasuk dalam hadits munkar di mana urutan sanadnya sangat lemah. Tak hanya itu, Ibnu Hibban menjelaskan bahwa tidak halal menyebut hadits di atas kecuali untuk maksud mencatatnya. Sebab, dalam suatu riwayat dikisahkan, Umar pernah memalsukan hadits atas nama Malik dan Ibn Abi Dzib.

Contoh hadits lainnya : Diriwayatkan oleh Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki Bani Sulaim, Rasulullah bersabda, “Puasa itu setengahnya kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman”. Imam Ibunul Maidi dalam kitab Tahdibut Tahdzin, sanad hadits ini dikatakan dhaif. Sebab, Juraisy Bin Kulaib adalah seorang mahjul atau tidak dikenal.

Sedangkan contoh hadits palsu / maudhu yaitu : “Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia bagaikan puasa sepanjang waktu”. Hadits ini dianggap maudhu' sebab menyalahi aqidah Islam dimana seharusnya pada hari idul fithri sangat diharamkan untuk berpuasa. Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu al-Bailami yang dikenal telah membuat hadits maudhu' kurang lebih sebanyak 200 hadits.

Contoh hadits lainnya : Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China!”. Hadist ini dianggap maudhu' sebab perawinya yang bernama Abu 'Atikah Tharif bin Sulaiman dikenal sebagai pemalsu hadist.

Dari contoh diatas bisa di bedakan bahwa hadits dhaif itu bukan hadits palsu melainkan hadits yang lemah. Sedangkan hadits maudhu / palsu memang sengaja dibuat dengan memalsukan hadits. Seperti di paragraf kedua bahwa hadits dhaif boleh di amalkan selama tidak berkaitan dengan hukum halal dan haram, akidah, dan hanya sebatas fadha’il amal. Sedangkan hadits maudhu / palsu tidak boleh disebarluaskan apalagi digunakan dalam kehidupan manusia. Hadits maudhu’ tidak diperkenankan dalam alasan apapun untuk digunakan.

Kesimpulan dari pembahasan di atas bahwa hadits dhaif merupakan hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sedangkan hadits maudhu /  palsu memang hadits yang sengaja di palsukan dan mengatasnamakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah SAW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun