Mohon tunggu...
Ade Herliani
Ade Herliani Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Big dreams and big thrills.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kode Etik Public Relations (Kode Etik Profesi APPRI dan Contoh Kasus Pelanggaran)

15 Februari 2022   01:00 Diperbarui: 15 Februari 2022   03:45 17027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beragam jenis profesi tentu memiliki kode etik sebagai pedoman untuk berperilaku. Kode etik tersebut bersifat mengikat, baik secara etis dan normatif, maupun sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban moral bagi setiap profesi yang dijalani. Kemudian definsi dari kode etik profesi sendiri merupakan norma yang telah ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi sebagai pengarahan atau petunjuk bagi para anggotanya mengenai “bagaimana seharusnya” (das sein) berperilaku dalam menjalankan (das sollen) profesi tersebut secara etis. Kode etik profesi memiliki wujud berupa aturan yang tertulis, tersusun secara sistematik, normatif, berisikan prinsip-prinsip dasar kode etik, dan lain-lain. 

Public Relations merupakan salah satu profesi yang memiliki kode etik profesi humas. Dalam melaksanakan peran dan fungsinya, setiap praktisi atau profesional PR/Humas juga harus dapat memahami kode etik, etika profesi, dan aspek-aspek hukum dalam aktivitas komunikasi untuk menciptakan citra baik bagi dirinya (good performance image) dan citra baik dari lembaga atau organisasi yang diwakilinya (good corporate image). Menurut G. Sachs, terdapat 3 konsep penting dalam etika kehumasan, yaitu citra, penampilan, dan etika.

Salah satu kode etik profesi humas di Indonesia, yaitu kode etik profesi APPRI (Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia). APPRI dibentuk di Jakarta, pada 10 April 1987. APPRI memiliki misi utama, yaitu ingin mendarma-baktikan kemampuannya pada bangsa dan negara, khususnya dalam profesionalisme di bidang Public Relations. Salah satu tujuan dibentuknya APPRI adalah mewujudkan fungsi Public Relations yang sehat, jujur, dan bertanggungjawab sesuai dengan kode praktik dan kode etik yang lazim berlaku secara nasional dan internasional.

Namun beberapa tahun lalu terdapat sebuah contoh kasus dari pelanggaran kode etik profesi APPRI, yaitu kasus Lumpur Lapindo Brantas, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Lumpur Lapindo merupakan insiden semburan lumpur panas yang terletak di dekat sumur Banjar Panji (BJP-1). Masyarakat sekitar menyatakan penyebab terjadinya semburan lumpur panas tersebut akibat perusahaan PT Lapindo Brantas yang melakukan kesalahan dalam mud logging (pengeboran lumpur). Selain masyarakat sekitar yang mengalami kerugian, lingkungan sekitar lokasi kejadian juga ikut terdampak akibat kasus tersebut.

Pada tanggal 22 Oktober 2008, PT Lapindo Brantas Lapindo Brantas menggelar konferensi pers atas temuan ahli geologi di London mengenai kasus tersebut. Dalam konferensi pers itu, PT Lapindo Brantas menyewa Public Relations atau Humas untuk memberikan pernyataan atau melaporkan bahwa kejadian tersebut bukanlah kesalahan yang berasal dari PT Lapindo Brantas, melainkan disebabkan oleh bencana alam. Namun beberapa ahli geologi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak mudah percaya begitu saja terhadap pernyataan tersebut dan tetap meyakini bahwa memang PT Lapindo Brantas yang menyebabkan kasus lumpur Lapindo itu terjadi. PT Lapindo Brantas selalu menutup-nutupi fakta yang ada dengan beragam cara, salah satunya yaitu membuat iklan-iklan palsu melalui media yang dimiliki dan memecah belah warga melalui masalah ganti rugi. Hal-hal tersebut dilakukan guna membentuk opini publik.

Dari kasus tersebut, maka Public Relations atau Humas dari PT Lapindo Brantas telah melakukan pelanggaran kode etik APPRI, yaitu:

  • Pasal 2 tentang Penyebarluasan Informasi: “Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggungjawab, informasi yang palsu atau yang menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi”. Dinyatakan telah melanggar Pasal 2 ini karena PR/Humas dari PT Lapindo Brantas memberikan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta saat konferensi pers.
  • Pasal 3 tentang Media Komunikasi: “Seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi". Dinyatakan melanggar Pasal 3 ini karena PT Lapindo Brantas yang merupakan milik Bakrie Group dapat menciptakan opini publik mengenai lumpur Lapindo tersebut melalui media milik mereka sendiri. Sehingga meskipun informasi yang diberikan tidak sesuai dengan fakta namun citra PT Lapindo Brantas tidak akan rusak.

Seharusnya sebagai seorang praktisi PR/Humas dapat menaati, mematuhi, dan berupaya untuk mencegah terjadinya perbuatan yang tidak etis terhadap kode etik profesi yang telah ditetapkan agar dapat memiliki sikap yang profesional untuk berbuat dan beritikad baik dalam melakukan kegiatannya.

(Ade Herliani, Ilmu Komunikasi A 2019)

Referensi:

Amiruddin, Lutfi. (2018).  "Kritik atas Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Bencana Lumpur Lapindo". Jurnal Kawistara, (8)1, 33-45. DOI:10.22146/kawistara.29707.

http://gatariamelia.blogspot.com/2017/03/critical-public-relations-dan-studi.html

Ruslan, Rosady. (2019). Etika Kehumasan: Konsepsi & Aplikasi. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun