http://beritadisdik.com/news/kaji/sinar-matahari--budaya-begadang--dan-kesiapan-serta-hasil-belajar-siswa                           https://adefathurahman.blogspot.com/2023/09/sinar-matahari-budaya-begadang-dan.html
Tulisan ini merupakan kelanjutan  tulisan saya  sebelumnya tentang Kebersyukuran kita sebagai sekelompok manusia yang dianugrahi iklim tropis (Berita Disdik - Bersyukur Masih Diberi Waktu dan Bertemu Matahari). Penajaman melalui interelasi (keterkaitan) antar fenomena di permukaan bumi, baik fisik (alamiah), maupun yang sosial (aktifitas manusia).
    Setelah sebelumnya disampaikan bahwa secara Geografi bahwa Perang dunia Ke-2 antara Sekutu yang dikomandani Amerika Serikat melawan Jepang, selain dilandasi oleh letak strategis beberapa wilayah dunia, seperti halnya Kepulauan Hawai. Saya melihat ada hal lain tentang Kepulauan Hawai yang memang berada di tengah Samudera Pasifik, yakni Kepulauan yang berada di Iklim Tropis. Saya melihat ada perebutan energi Matahari dalam peperangan ini. energi yang diartikan sebagai tenaga yang tidak sebatas tenaga alternatif pengganti BBM atau listrik  yang dikenal sekarang, melainkan sebagai bahan energi bagi kehidupan manusia, khususnya kesehatan.
   Hal yang mendasari prediksi diatas adalah fakta bahwa sebagian besar dari Wilayah Amerika Serikat  berada dalam satu daratan, Disamping itu, sebagian lagi yang berbatasan dengan Kanada berada di iklim Sedang Utara. Fakta yang lain adalah Wilayah Jepang yang, walaupun merupakan Gugusan Pulau-pulau, tetapi nyaris seluruhnya terletak di wilayah Iklim Sedang Utara. Iklim sedang yang menjadikan manusia-manusianya secara determinis beradaptasi dengan cuaca ekstrim musim dingin selam 3 bulan yang nyaris tanpa matahari.Â
   Fakta-fakta geografis diatas menjadikan kepentingan akan Kepulauan Hawai menjadi sangat penting, dimana peperangan yang sebelumnya didasari faham kemanusiaan memerangi idiologi fasisme Jepang bisa jadi menjadi kepentingan yang tercampuri oleh kepentingan yang lain, sebut saja Kepemilikan atas Kepulauan Hawai yang identik dengan rayuan eksotisnya iklim tropis yang kaya sinar matahari. Menjadi semakin relevan, jika Jepang habis-habisan melawan Sekutu (beberapa negara Eropa dengan Komandannya Amerika Serikat) memilih Simbol dalam Benderanya dengan Simbol Matahari sesuai dengan Ajaran Shinto-nya. Setidaknya kita mengenal bebrapa kisah heroik tentara jepang yang mempertontonkan budaya Harakiri dan kamikaze yang menakutkan bagi pihak sekutu.
    Sepertinya Perang dunia Ke-II tak akan pernah berakhir tanpa tragedi kemanusian BOM Hiroshima dan Nagasaki 1945. Suatu Peristiwa kemanusiaan yang telah memporak-porandakan patriotisme tentara Jepang di berbagai negara Asia yang didudukinya, Akhir peperangan inilah yang kemudian mempersembahkan pada dunia jumlah negara serikat Amerika menjadi 50. Dimana Amerika Serikat sekarang inimmemiliki 48 Negara bagian dalam satu kesatuan wilayah dan 1 negara bagian lain terpisah oleh Kanada (Alaska) serta Kepulauan Hawai yang terletak nun jauh di tengah-tengah Samudera Pasifik.
    Lalu apa yang bisa dipetik dari naarasi diatas, diantaranya adalah kepentingan manusia dibumi akan sinar matahari tak terbantahkan, bahkan menelikung pada pertarungan politik yang semulanya berkutat pada masalah ekspansi idiologi. Yang kita tahu sekarang adalah para turis musim dingin Iklim Sedang  Belahan Bumi Utara asal Amerika Serikat mendapatkan kemudahan berkunjung menemui Sinar Matahari Tropis yang kaya Vitamin D di Kepulauan Hawai tanpa visa kunjungan wisata selama bertahun-tahun Pasca PD II, karena serasa mengunjungi bagian dari negaranya sendiri.
    Sangat ironis, jika fakta diatas dihubungkan dengan keadaan sebagian masyarakat tropis seperti kita yang tidak begitu memperhatikan betapa pentingnya matahari. Sebagian masyarakat kita yang tak pernah merenung (berkontemplasi) bersyukur dengan keberadaan matahari yang senantiasa bersinar sepanjang tahun. Vitamin D yang senantiasa dihasilkan matahari serta kemudahan mendapatkannya yang terabaikan sebagian masyarakat kita.
    Dalam konteks kekinian dan kedisinian, budaya berjemur pada pagi hari di luar rumah yang diturun-temurunkan para leluhur kita, khususnya yang petani sepertinya  juga bersadarkan pada pengalaman hidup mereka atas manfaat yang didapatkan dari sinar matahari pagi. Tentu saja ini berbeda dengan kebiasaan para nenek moyang kita yang pelaut, karena harus pergi pada malam hari dan pulang pada dini hari bekerja sepanjang malam).
    Jika membandingkan dari dua kebiasaan leluhur/ nenek moyang kita itu sepertinya saya yakin bahwa kegiatan nelayan yang bekerja pada malam hari dengan mempergunakan angin darat pada pemberangkatan dan menggunakan angin laut pada saat pulang dari bekerja di laut semalaman hanya merupakan sebuah tuntutan kondisi alam. Jiak pun seandainya dahulu sudah diketemukan motor untuk perahu nelayan, sepertinya mereka akan memilih jadwal kerja normal seperti petani (terlalu bergantung pada perubahan arah angin).Â
  Pada Proses KBM saya senantiasa mengingatkan kepada para siswa dan khususnya diri sendiri tentang betapa pentingnya prepare (persiapan) dalam berbagaikegiatan yang kita jalani. Jika pun kita menjadi yang seseorang yang melaksanakan akselerasi, minimal kita bisa menjalankan kewajiban sedikit diatas rata-rata minimum yang ditargetkan, Berkenaan dengan pola aktifitas KBM didominasi pada waktu siang hari, maka sudah sewajarnya persiapan KBM di siang hari itu harus dilakukan sejak semalam sebelumnya.Â
  Mengacu pada targetan dari capaian kegiatan KBM pada siang hari di hari berikutnya, maka saya menegaskan bahwa keberhasilan atas kegiatan esok hari itu sangat bergantung pada persiapan yang dilakukan pada malam hari sebelumnya. Kecukupan tidur yang merupakan kebutuhan mendasar manusia normal, sudah selayaknya harus dilakukan dengan perjuangan sepenuh hati. Tentu saja "BUDAYA BEGADANG" yang saat ini sudah menjadi karakteristik yang mengglobal di kalangan pelajar masa kini harus dihindari. Rasionalisasi atas hal tersebut sangat sederhana, bila kita menyadari kebutuhan organ tubuh kita sebagai manusia untuk mendapatka istirahat yang cukup pada waktu yang tepat.
  Berbagai kearifan budaya, maupun pengajaran keagamaan memberikan sinyal kepada kita betapa uadara malam kurang bersahabat terhadap tubuh manusia.Maka, sudah barang tentu segala kegiatan yang tidak terlalu penting pada malam hari harus dihindari. Kendali diri terhadap hasrat untuk begadang harus dihindari. Sebaliknya, kesiapan diri menyambut pagi hari yang penuh dengan energi matahari yang dianugrahkan Tuhan atas Wilayah Tropis harus tanpa gangguan budaya begadang.
Pada saat ini sepertinya begadang sudah menjadi hal yang membudaya dikalangan pelajar, mungkin salah satunya, karena waktu luang yang mereka miliki diluar kesibukan KBM dan Ekskur dimulai selepas terbenam matahari hingga dini hari. Tawaran untuk "refreshing by playing a game" semisal PG dan ML lebih menjanjikan dilakukan pada saat yang bertabrakan dengan waktu kebersamaan dengan keluarga dan waktu istirahat (termasuk tidur).
Jika di interelasikan secara berantai, maka bisa saja budaya begadang dikalangan pelajar menjadi salah satu yang mengkontribusi ketidak-siapan mereka didalam melaksanakan  KBM secara  optimal. Selanjutnya ketidak-siapan para pelajar untuk melaksanakan KBM secara optimal dapat diduga berkontribusi secara signifikan pada hasil belajar yang tidak sesuai dengaan  capaian pembelajaran sesuai yang direncanakan. Pada kajian sintesis  yang lebih jauh, bisa saja menjadi penyebab utama rendahnya  mutu lulusan di akhir pembalajaran, baik dalam cakupan waktu tahun pelajaran, fase ataupun dalam satu jenjang satuan pendidikan (sekolah Mengah atas.)
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H