Mohon tunggu...
Muhammad Fadli
Muhammad Fadli Mohon Tunggu... lainnya -

lahir dan besar di tepi karangmumus. sungai di kota kayu, Samarinda, yang kini kian menghitam. dapat dikunjungi di: http://timpakul.web.id

Selanjutnya

Tutup

Money

Food Estate: Ketika Konstitusi Semakin Diabaikan

8 Januari 2012   11:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:10 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Food Estate bukanlah sebuah gagasan baru. Kehadiran telah ada, sejak korporasi mulai menguasai pemerintahan. Membangun sentra-sentra industri pangan ini semakin diperkuat saat revolusi hijau jilid pertama dilaksanakan. Hasilnya sudah jelas terlihat. Tak ada peningkatan kebahagiaan petani dalam jangka panjang. Industri semakin mencengkeram perputaran pangan. Dan warga semakin bergantung pada produk-produk dari luar wilayahnya. Merauke, menjadi titik bangkitnya generasi Food Estate yang baru. Lahan-lahan pertanian tradisional dan lahan cadangan pangan warga diekstraksi, dan keseluruhannnya ingin dibalikkan dengan teknologi pertanian yang katanya lebih modern. Hasilnya, pemerintah pusat saat ini memindahkan prioritas pembangunan Food Estate ke wilayah lain, termasuk ke Kalimantan Timur. Sementara, kehancuran yang telah dihasilkan oleh penyiapan Food Estate diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Masih sulit dilupakan juga, ketika gagasan membangun satu juta hektar lahan persawahan di lahan gambut Kalimantan Tengah. Kanal-kanal dibangun untuk mengurangi tinggi air. Akhirnya, kebakaran kerap terjadi di kawasan gambut tersebut, dan benar-benar sempurna menghancurkan ekologi, termasuk sosio-kultur warga di kawasan lahan gambut Kalteng tersebut. Saat ini, semakin sulit ditemukan beje (tempat terperangkapnya ikan), semakin sulit jua ditemui hasil-hasil ekosistem lahan gambut, yang selama ini menopang kehidupan warga disana. [caption id="attachment_154211" align="alignright" width="300" caption="Menumbuk Batubara "][/caption] Kini, Gubernur Kalimantan Timur, bersama dengan beberapa bupati di Kalimantan Timur berlomba-lomba menawarkan wilayahnya untuk menjadi kawasan Food Estate. Delta Kayan di Bulungan salah satunya. Kawasan lahan basah yang memiliki peran penting secara ekologi, serta sosio-kultur ini, dengan mudah dipersembahkan bagi korporasi. Sementara itu, Gubernur memimpin para Bupati untuk terus mengabaikan lahan-lahan pangan tradisional dan memberikannya kepada perkebunan kelapa sawit, akasia dan leda, serta mempersembahkannya kepada perusahaan pertambangan. Tak cukup luas 19 juta lahan daratan provinsi ini, bila hanya untuk memuaskan hasrat korporasi untuk mengobrak-abriknya. Tak akan pernah berhenti mulut-mulut pemodal itu untuk menyampaikan slogan-slogan kesejahteraan, yang hanya bagi para pelayan publik. Warga tetap saja pada kehidupannya. Siapa yang mau dan mampu menjadi bunglon, dialah yang akan menjadi dikenyangkan. Setelah itu, memilih pergi dari tanah kehidupannya atau menjadi tiada diantara kerabatnya. Konstitusi negeri ini sudah sangat jelas memandatkan kepada pemerintah untuk memperkuat ekonomi Pancasila ataupun lebih dikenal dengan ekonomi kerakyatan. Tatanan perekonomian negeri ini harus dibangun berasaskan kekeluargaan. Bukan untuk menyerahkan kekuatan ekonomi pada keluarga-keluarga pejabat, namun bagaimana sebuah sistem ekonomi komunal, musyawarah, dan bangunan bersama, diterapkan dalam setiap moda pembangunan dan industri yang dibangun. Konstitusi negeri ini sudah pula dengan jelas memandatkan, cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara, bukan oleh pemerintah, apalagi oleh korporasi. Cabang produksi yang penting tersebut setidaknya adalah energi, manufaktur, papan, sandang, pangan, air, serta produk-produk yang hari ini menjadi hajat hidup orang banyak, seperti telekomunikasi, dan transportasi. Negara harus menguasai, tidak diserahkan kepada korporasi, utamanya akses dan kontrolnya. Hingga Badan Usaha Milik Negara, yang dikontrol oleh rakyat, yang harusnya menjadi pengelola bagi cabang-cabang produksi tersebut. Negara kesejahteraan hanya mampu diwujudkan, bilamana perusahaan negara benar-benar berada dalam kontrol rakyat, bukan kembali diserahkan kepada orang-orang korporasi, yang mengatasnamakan rakyat, ataupun kepada aparat pemerintahan, yang menjadi seolah-olah rakyat. Rakyat disini utamanya adalah mereka yang menerima dampak langsung dari industri, mereka yang menjadi pekerja dalam industri tersebut, serta mereka yang menerima dampak sekunder dari beroperasinya industri tersebut. Selain dua hal diatas, bagian ketiga yang penting dari mandat konstitusi adalah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria, bahkan ditambahkan dengan bagian ruang angkasa. Dikuasai oleh negara bukan berarti dikuasai oleh Pemerintahan, sehingga pemerintah berhak untuk membagi-bagikannya kepada pengusaha. Pemerintahan hanya memiliki hak untuk menjalankan mandat konstitusi, yaitu memastikan bahwa kekayaan alam tersebut benar-benar bagi kebahagiaan warga negara, bukan hanya bagi pengkayaan segelintir pengusaha. Selain tiga mandat tersebut, masih ada beberapa mandat lain yang penting, sebagai hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintahan untuk mencapai tujuan negara ini didirikan. Pemerintahan saat ini sudah sangat menghamba kepada pemodal dan sistem ekonomi individualistis, sehingga kemudian pendekatan yang digunakan hanyalah pendekatan bahwa modal eksternal diutamakan untuk melakukan pembangunan. Mungkin menjadi wajar, ketika musim pembukaan perdagangan tiap tahunnya harus dibuka oleh seorang Presiden, yang sebenarnya bukan merupakan instrumen penting bagi pembangunan negeri ini. Cara pandang pimpinan pemerintah hari ini pun hanya berhenti pada membangun perwajahan dan monumen yang seolah terlihat baik. Makanya kemudian, tak aneh melihat Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan Presiden hanya sibuk dengan pengumuman rencana mega proyek, setelah itu tak lagi mengikuti kaidah-kaidah pemenuhan prasyarat dilaksanakannya sebuah proyek. Mengejar popularitas, lalu melupakan harapan dan impian bahagia warganya. Food Estate, hanya dapat dilakukan oleh perusahaan negara, yang dikontrol kuat oleh rakyat. Hal ini yang belum terjadi di negara ini. Perusahaan negara hanyalah sebuah label penamaan. Kontrol tetap berada pada pejabat pemerintah, bukan oleh rakyat. Dan yang lebih menakutkan, perusahaan negara dan/atau perusahaan daerah, hanya menempatkan namanya dalam industri yang akan dibangun, dengan saham kosong, yang kemudian seluruh keputusan operasional industri tetap dibawah kendali pemilik modal. Kesalahan lainnya dalam proses pembangunan Food Estate, adalah melupakan moda pertanian tradisional yang telah dimiliki oleh warga negeri. Ini bisa jadi dianggap wajar, karena seluruh pekerja pemerintahan hanya belajar pertanian yang katanya modern, yang merupakan produk turunan dari revolusi hijau yang gagal. Belum cukup kurikulum di sekolah-sekolah pertanian maupun perguruan tinggi pertanian, untuk mendiskusikan sistem pertanian tradisional yang luar biasa. Apalagi dalam bidang-bidang ilmu lainnya, belum menjadi bahan diskusi utama untuk melihat sistem kehidupan warga negeri selama ini, yang menjadi penopang utama ke-Bhinneka Tunggal Ika-an negara, dan menjadi pembentuk bangunan negara ini. Hasilnya adalah hampir setiap proses pembangunan dan pengambilan keputusan yang diambil, meniadakan warga negeri ini. Berikutnya, Food Estate juga akan memproduksi pangan yang tidak terlalu dibutuhkan oleh warga Kaltim. Food Estate lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan industri, yang akan melayani Jawa dan negara lain. Sebuah kesengajaan yang akan melahirkan kesenjangan pemenuhan pangan di tingkat lokal, yang saat ini masih bergantung pada aliran pangan dari Sulawesi dan Jawa. Food Estate inipun sangat jelas akan mengundang tenaga kerja dari luar Kaltim, yang dapat menumbuhkan konflik bila tak mampu dikelola sejak awal. Apalagi saat ini, begitu banyak warga Kaltim yang telah kehilangan lahan-lahan produktifnya, akibat perijinan menghancurkan yang diberikan oleh pemerintah. Solusi bagi kedaulatan pangan negeri ini bukanlah terletak pada Food Estate ataupun industrialisasi pada bagian hulu. Pemerintahan negeri ini harus mulai fokus dengan membangun industri hilir, dan lebih mempercayakan kepada para warga negeri untuk mengelola lahan produktifnya. Pengembangan pengetahuan pun lebih diutamakan yang bersandar pada pengetahuan tradisional yang masih tersisa. Tahun ini adalah titik balik peradaban. Pilihan ada pada pemerintahan, mengarahkannya pada sebuah kebaikan, atau membiarkan negeri ini terus terperosok pada titik terendah kehidupan. * sebagaimana telah ditulis dalam blog personal : http://timpakul.web.id/food-estate-ketika-konstitusi-semakin-diabaikan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun