"A-ya-ya ...." Bocah itu meracau, tangannya bergerak ke mana-mana hingga menampik  mangkuk bubur yang kupegang.Â
"Tuh, ngomong saja masih gak jelas. Aku  malu punya anak seperti dia!" Mas Tegar mengacak  rambut frustrasi, lalu melenggang pergi.Â
***Â
Meski usia Aksara sudah 20 bulan, tetapi dia belum bisa berjalan. Ucapan yang terlontar dari  bibirnya berupa racauan tanpa arti. Aku semakin  panik. Menurut tetangga, putraku menderita Delay  Speaking---keterlambatan bicara---dan harus  ditangani. Jika tidak, ia sulit merespons ucapan  orang lain.Â
Faktor ekonomi menjadi beban utama.  Keuangan kami sedang sulit, rasanya tidak sanggup  membawa Aksara berobat. Setelah berdiskusi  dengan suami, dia setuju merogoh tabungan dan  membawanya ke terapis anak. Kata Dokter, putraku  harus menjalani terapi wicara untuk menstimulasi  saraf-sarafnya.Â
"Terapis kami akan mengajaknya berinteraksi  dan mengenalkan kartu bergambar. Terapi ini rutin  dilakukan dua minggu sekali, Bu," jelas Dokter.Â
Aku menatap Mas Tegar yang terlihat  memijat pelipis seolah tampak keberatan. Setelah  itu, aku pamit pulang dan mencari alternatif lain.Â
"Coba gosok lidah anakmu dengan cincin emas secara rutin. Menurut leluhur, itu bisa menjadi terapi  alami, Risma. Coba dulu, siapa tahu manjur." Bu  Samad menyarankan.Â
"Njih, Bu. Nanti saya coba."Â
"Bener, lho. Mungkin rezekimu, Ris."Â
Aku mengangguk, mengurai senyum pada  perempuan setengah baya itu, lalu pamit  menidurkan Aksara. Ketika membuka pintu, Mas Tegar menenteng dua tas besar, hendak melangkah  ke luar.Â
"Mau ke mana?"