Mohon tunggu...
Ade Ela Pratiwi
Ade Ela Pratiwi Mohon Tunggu... Guru - Guru

I love travelling and having new experiences

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patahnya Sayap Anak Karena Orangtuanya

23 Desember 2022   10:15 Diperbarui: 23 Desember 2022   11:56 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menjadi orang tua adalah pilihan yang melahirkan sebuah keputusan. Anugrah terbesar dari sebuah pernihakahan adalah dikaruniakannya seorang buah hati yang menjadi obat dalam setiap lara. Banyak yang berjuang tanpa lelah untuk mewujudkan keinginan memiliki seorang buah hati, namun disisi lain banyak pula buah hati yang terbuang karena tak dinginkan oleh kedua orangtuanya. Tak jarang banyak media memberitakan tentang ditemukannya janin ataupun bayi yang terbuang di semak-semak,  selokan, sungai, saluran air, sawah bahkan mirisnya lagi di atas tumpukan pembuangan sampah. Apakah ungkapan malaikat tanpa sayap juga layak disematkan pada seorang wanita dan ibu yang dengan tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Maraknya kasus kekerasan pada anak menjadikan orang tua bukan lagi menjadi tempat satu-satunya yang paling aman untuk seorang anak.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan perlindungan hak anak ditunjukan dari berkurangnya kasus perlindungan anak yang terjadi antara tahun 2021 dan sepangjang tahun 2022. Dari data yang dipublikasikan oleh KPAI, dapat diketahui bahwa pada tahun 2021 terdapat sejumlah 5.953 kasus yang terjadi di Indonesia. Kasus perlindungan anak disebabkan oleh berbagi variasi kasus. Kasus terbanyak di tahun 2021 disebabkan oleh kekerasan fisik dan/ psikis, disusul dengan kasus kejahatan seksual yang menjadi perhatian khusus dari para orang tua di Indonesia. 

Sedangkan pada sepanjang bulan januari - september 2022 data kasus perlindungan anak turun menjadi 3.164 kasus. Tentu hal ini masih menjadi tugas setiap pihak untuk terus menekan kasus perlindungan anak yang terjadi di negara Indonesia. Kembali lagi pada unsur yang menjadi faktor utama dalam perlindungan anak adalah keluarga, yang bersumber dari orang tuanya. Peran orang tua bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan lahiriah secara fisik yang terlihat saja, namun sangat diutamakan terpenuhinya kebutuhan batin seorang anak. Terpenuhinya porsi kasih sayang, cinta, rasa aman, nyaman, dan perasaan diakui pada diri seorang anak akan menjadikannya lebih mudah untuk merasa bahagia dan percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain.

Tugas dan tanggungjawab orang tua bukanlah hal yang sederhana. Keberhasilan dan kegagalan seorang anak dimulai dari peran orang tua dalam membentuk karakter dan pribadi seorang anak. Tidak sedikit orang tua yang lupa bahwa seorang anak juga membutuhkan ekspresi kasih sayang dari orang tuanya yang dapat disampaikan. Tapi hal ini terpatahkan oleh rasa gengsi dari orang tua yang merasa hal seperti itu adalah remeh temeh yang tak perlu dilakukan, karena merasa anak akan memahami bahwa orang tuanya sangat menyayanginya walaupun terkadang kita sebagai orang tua terpancing emosi dengan membentak, memaki bahkan memukul tanpa sadar. Pola pikir tentang anak akan mengerti dengan sendirinya tidak dapat berlaku oleh semua anak dengan berbagai karakter kepribadian yang berbeda-beda. Akan ada anak yang mengerti keadaan dan alasan mengapa orang tuanya membentak, memaki dan memukulnya, namun disisi berbeda akan ada anak yang justru sebaliknya. Dia akan berfikir bahwa orang tuanya tidak mengerti dirinya, tidak menyayangi dan menginginkan keberadaannya. Kondisi seperti ini yang harusnya dapat dipahami oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Rasa gengsi orang tua untuk mengatakan maaf pada anak karena telah menyakiti hatinya, akan membentuk sebuah mindset bahwa orangtuanya adalah seorang yang egois.

Mengatakan kata maaf karena melakukan kesalahan kepada anak bukan hanya akan menghangatkan kembali suasana dalam keluarga, namun hal ini sangat penting untuk menyembuhkan luka pada hati seorang anak. Anak yang terlalu sering mendapatan kekerasan fisik dan/ psikis akan membentuknya menjadi pribadi yang berbeda dari awal dia dilahirkan. Luka yang diberikan secara terus- menerus akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh.

"Kekerasan terhadap anak (child abuse) secara teoritis dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, seperti orang tua, keluarga dekat, dan guru, diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Sedangkan kekerasan kepada anak menurut WHO adalah suatu tindakan penganiyaan atau perlakuan salah terhadap anak dalm bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata ataupun tidak, dapat
membahayakan kesehatan kelangsungan hidup, martabat dan perkembangannya."

Ketidakseimbangan pola asuh anak yang dilakukan orang tua disebabkan oleh minimnya pengetahuan tentang pola asuh yang baik kepada anak. Keterbatasan informasi, media untuk mengaksesnya  dan rendahnya keinginan orang tua untuk belajar mejadikan banyaknya anak-anak yang dirugikan karena ketidakberuntungan mereka dalam hidup.

Dampak serius ditimbulkan dari kekerasan yang dilakukan orang tua secara fisik dan/psikis kepada anak akan menjadi boomerang bagi orang tua dalam jangka panjang di masa depan. Adapun dampak yang ditimbulkan dari kekerasan yang dilakukan secara fisik dan/psikis kepada anak adalah sebagai berikut :

1. Anak mengalami trauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Kondisi ini dialami oleh seorang anak yang seringkali mendapatkan kekerasan fisik dan/psikis yang menimbulkan rasa trauma dalam hati dan pikirannya. Anak dengan PTSD akan memiliki reaksi yang sering terjadi akibat peristiwa traumatis yang dialami seseorang antara lain, menurut National Center for PTSD (dalam Piete, Janiwati & Saragih , 2011) 

  • a. Efek emosional yang meliputi shock, perasaan cemas, mudah tersinggung, bersalah, marah, bersalah, sedih atau sedih, penurunan emosi, ketidakberdayaan, kehilangan kesenangan untuk mengurus aktivitas yang sering, kesulitan dalam merasa bahagia, masalah. 
  • b. Efek kognitif meliputi kesulitan berkonsentrasi, gangguan pengambilan keputusan, gangguan memori, kurang percaya diri, penurunan efikasi diri, rasa bersalah , gangguan pikiran atau ingatan, kekhawatiran, disosiasi. 
  • c. Efek fisik termasuk kelelahan, insomnia, stres kardiovaskular, reaksi syok, kewaspadaan, peningkatan nyeri fisik, penurunan respon imun, sakit kepala, gangguan gastrointestinal, penurunan nafsu makan, penurunan libido, risiko penyakit. 
  • d. Efek interpersonal, peningkatan konflik dalam hubungan, penarikan sosial, penurunan keintiman dalam hubungan, isolasi, gangguan prestasi kerja, penurunan kinerja di sekolah, penurunan kepuasan, ketidakpercayaan, menyalahkan orang lain, perasaan kelalaian, berlebihan kewaspadaan.

 2. Mengalami gangguan perkembangan otak. Adanya anggapan bahwa anak balita masih belum mengerti kondisi sekitar menjadi alasan mudahnya orang tuan untuk melakukan kekerasan fisik dan/ psikis kepada anaknya. Padahal Golden age merupakan periode penting dalam masa perkembangan anak. Masa golden age adalah masa emas pada anak-anak di awal kehidupannya yaitu pada usia 0-5 tahun.  Penelitian mengatakan sekitar 50% kecerdasan orang dewasa mulai terbentuk di usia 4 tahun. Orang tua yang tidak menyadari petingnya perkembangan otak pada masa golden age memungkinkan sel - sel otak yang bersambungan atau bersinapsis  tidak bisa memicu kecerdasan dalam merangkai masalah dan menemukan solusinya. Tentu ini akan membuat anak dinilai kurang cerdas dalam hal intelegensi. 

3. Anak kesulitan untuk berfikir fokus. Anak yang sering menerima bentakan dan pukulan dari orang terdekatnya, terutama orang tua akan menjadikannya terus berfikir "kenapa?" dan "mengapa" hal itu harus terjadi pada dirinya. Perasaan tidak aman dan nyaman menjadikannya sulit untuk berfikir fokus yang berakibatkan kesulitan dalam proses belajar anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun