PDIP marah dengan Ahok gara-gara Ahok secara sepihak memilih Heru Budi Hartono sebagai calon wakil gubernurnya, seraya mengabaikan nama-nama yang diajukan partai.  Menurut Ahok ia  percaya dengan kemampuan Heru. Lagi-lagi, ini soal kepentingan publik
Jadi, kita bisa melihat tidak ada kesalahan Ahok yang substansial dilihat dari kacamata kepentingan publik. Kalau PDIP dan Gerindra tidak mendukung Ahok, itu terjadi karena Ahok ‘membangkang’ sikap partai.
Dalam hal ini, kalau Risma sampai bersedia bertarung di Jakarta, ia sebenarnya hanyalah memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang marah dengan independensi Ahok atau yang berprinsip ‘asal bukan Ahok’. Lebih celaka lagi, Risma bisa saja terjebak sebagai kuda tunggangan kalangan yang selama Ahok berkuasa terus merasa dirugikan secara politik dan materiil.
Kalaulah Ahok memang seorang gubernur yang buruk, layak Risma merasa harus turun tangan menyelamatkan Jakarta dan meninggalkan pekerjaan rumah yang masih bertumpuk di Surabaya.
Tapi saya yakin Risma tahu persis bahwa Ahok bukanlah gubernur buruk.
Karena itu mengingat Risma adalah sosok yang menempatkan idealisme moral dan kepentingan publik di atas segala-galanya, ada baiknya Risma tidak datang untuk bertarung melawan Ahok di Jakarta. Ini terutama bukan karena siapa yang akan menang. Kalkulasi objektif menunjukkan Risma akan sangat sulit menang. Tapi bukan itu yang substansial. Risma layak datang ke Jakarta kalau kedatangannya penting untuk kepentingan publik. Masalahnya, kali ini bukan kepentingan publik yang dipertarungkan. Yang dipertarungkan adalah kepentingan sempit harga diri partai. Risma terlalu berharga untuk dijadikan tumbal permainan politik rendahan semacam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H