Golput, singkatan dari "golongan putih," adalah istilah yang merujuk pada individu atau kelompok yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dalam Islam, partisipasi dalam urusan sosial dan politik merupakan bagian dari tanggung jawab kemasyarakatan, yang termasuk dalam prinsip al-maslahah al-'ammah (kemaslahatan umum). Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar'iyyah menekankan pentingnya peran setiap individu dalam menjaga keseimbangan sosial, yang dapat diartikan bahwa absen dari pemilu, tanpa alasan syar'i, dapat melalaikan tanggung jawab kolektif (fardhu kifayah).
Islam mengajarkan asas musyawarah (syura), sebagaimana disebutkan dalam QS. Ash-Shura [42]:38: "Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka..." Pemilu modern dianggap sebagai salah satu bentuk musyawarah kolektif dalam konteks masyarakat demokratis. Golput, dalam perspektif ini, bisa dianggap sebagai sikap meninggalkan musyawarah, yang dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk mendukung pemimpin yang lebih amanah. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa memilih pemimpin merupakan kewajiban umat dalam menegakkan keadilan.
Dalam Islam, prinsip amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan) menjadi landasan penting. Dengan tidak memilih, seseorang berpotensi membiarkan pemimpin yang tidak kompeten atau zalim memimpin. Hal ini bertentangan dengan prinsip nahi munkar. Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa mencegah kemungkaran wajib dilakukan dengan segala kemampuan yang dimiliki, termasuk menggunakan hak pilih dalam sistem pemilu.
Konsep fiqh al-masalih mengajarkan untuk memilih opsi yang membawa kemaslahatan meski tidak ideal. Dalam konteks pemilu, meskipun semua kandidat tidak sempurna, umat Islam diwajibkan memilih yang lebih mendekati kemaslahatan. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul menyebutkan bahwa mempertahankan kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada mengejar kesempurnaan ideal. Golput dapat dianggap meninggalkan tanggung jawab memilih kandidat terbaik untuk kepentingan umat.
Sebagian ulama kontemporer, seperti Yusuf Al-Qaradawi, menyatakan bahwa partisipasi politik, termasuk dalam pemilu, adalah kewajiban. Ia menyebutkan dalam Fiqh Ad-Daulah bahwa pemilu adalah cara modern untuk menegakkan syura. Golput tanpa alasan dapat dikategorikan sebagai bentuk pengabaian tanggung jawab terhadap maslahat umat. Pandangan ini sejalan dengan pendapat klasik ulama yang mewajibkan umat Islam berperan aktif dalam menentukan kepemimpinan.
Golput berpotensi melalaikan tanggung jawab kolektif umat untuk menentukan pemimpin yang baik. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebutkan bahwa stabilitas politik dan sosial sangat bergantung pada pemimpin yang kompeten. Dengan golput, umat Islam menyerahkan nasib kepemimpinan kepada pihak lain, yang dapat berujung pada kepemimpinan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam keadaan di mana tidak ada kandidat ideal, golput masih dipandang tidak dianjurkan karena Islam mendorong umat untuk memilih opsi yang lebih ringan mudaratnya (akhaf al-dhararain). Prinsip ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yang menyebutkan bahwa dalam situasi darurat, memilih opsi terbaik dari yang buruk tetap merupakan kewajiban. Dengan demikian, golput bukan solusi yang dibenarkan secara syar'i.
Apatisme dalam Islam sangat tidak dianjurkan, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umum. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka." (HR. Thabrani). Golput dapat dianggap sebagai sikap tidak peduli terhadap nasib umat dan bangsa, sehingga bertentangan dengan ajaran Islam yang mendorong keterlibatan aktif dalam urusan masyarakat.
Maqashid Syariah atau tujuan syariat Islam bertujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan memilih pemimpin yang baik, umat berkontribusi pada perlindungan lima hal tersebut. Golput, di sisi lain, dapat merusak maqashid syariah karena membuka peluang bagi kepemimpinan yang tidak mampu melindungi maslahat umat.
Dalam Islam, memilih pemimpin merupakan bagian dari baiat. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati dalam keadaan jahiliah." (HR. Muslim). Dalam konteks modern, menggunakan hak pilih dalam pemilu dapat dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan baiat. Golput berarti menghindari kewajiban ini.
Dalam sejarah Islam, pemilihan khalifah dilakukan melalui proses musyawarah. Pemilu modern dapat dianalogikan dengan proses tersebut. Golput berarti tidak berpartisipasi dalam sistem yang menyerupai mekanisme syura, sehingga bertentangan dengan tradisi Islam. Imam Al-Mawardi menekankan bahwa partisipasi umat sangat penting dalam memilih pemimpin yang adil.