Beberapa fatwa ulama kontemporer, seperti Lajnah Daimah di Arab Saudi, menyatakan bahwa meninggalkan pemilu tanpa alasan syar'i adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Mereka menegaskan bahwa umat Islam wajib memilih pemimpin yang terbaik sesuai kemampuannya. Golput dianggap meninggalkan kewajiban ini.
Dalam Islam, membiarkan pemimpin yang zalim berkuasa tanpa upaya mencegahnya adalah dosa. Rasulullah SAW bersabda: "Akan ada pemimpin-pemimpin yang zalim, maka barang siapa yang membenci kemungkaran mereka, ia selamat..." (HR. Muslim). Golput dapat dianggap sebagai sikap pasif yang membiarkan kezaliman terjadi.
Fikih prioritas (fiqh al-awlawiyyat) menekankan pentingnya mendahulukan kewajiban yang lebih besar. Dalam konteks pemilu, memilih pemimpin yang baik menjadi prioritas. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa maslahat umat lebih penting daripada kepentingan individu. Golput berarti mengabaikan prioritas ini.
Berdasarkan analisis kitab turats dan pandangan ulama, golput secara umum tidak dianjurkan dalam Islam. Partisipasi dalam pemilu adalah bentuk tanggung jawab sosial dan agama. Dengan tidak memilih, umat Islam berpotensi melalaikan kewajibannya terhadap kemaslahatan umum dan membuka peluang bagi kezaliman. Oleh karena itu, umat Islam sebaiknya menggunakan hak pilihnya dengan bijak untuk memilih pemimpin yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H