Sebelum pandemi terjadi, yaitu sebelum tahun 2020 silam, temanku mengungkapkan bahwa dia paling kesal jika pergi ke rumah makan lalu pelayan rumah makannya ternyata tidak ramah, judes, atau tidak menghargai pembeli.Â
Jika sudah bertemu dengan pelayan rumah makan seperti ini, maka temanku tidak segan untuk menegurnya langsung di tempat.
"Mbak, maaf ya. Saya makan disini itu sudah ditagih pajak service pelayanan loh, dan itu besarnya sebesar 5% dari total harga yang saya bayar untuk semua pesanan makanan saya. Artinya, mbak nggak berhak untuk tidak berlaku tidak sopan, atau kurang ajar atau tidak menyenangkan saya sebagai pembeli."
Waktu mendengar pengakuan temanku ini, aku sedikit termenung sebenarnya. Kesan pertama, "aih, begitukah?". Tapi, setelah didiskusikan lebih lanjut, akhirnya aku paham.
Benar juga ya, jika kita memang diminta untuk memberi bayaran lebih terkait dengan service yang seharusnya bisa kita dapatkan gratis sebagai pembeli, artinya kita bisa menuntut lebih  terhadap realisasi service yang semestinya.
Sudah kewajiban penjual untuk melayani pembeli dengan baik. Nah, ketika layanan ini dihargai dengan nilai uang tertentu berupa pajak, berarti kewajiban itu menjadi mutlak harus terjadi dan jika tidak terjadi, kita sebagai pembeli berhak untuk protes (atau bahkan menuntut? Ah, terlalu jauh ya jika ada kata menuntut).Â
Lah iya dong, sesuatu yang kita peroleh gratis, namanya juga gratis, jika diperoleh Alhamdulillah, jika tidak diperoleh ya tidak mengapa.
Tapi ketika sesuatu itu ada bayarannya, masa iya jika tidak diperoleh kita legowo sih? Ya nggak bisa gitu. Kan ini bukan perilaku bersedekah.Â
Itu yang diyakinkan oleh temanku padaku. Hehehe, dan akhirnya aku setuju sih.Â
Bisa jadi, karena semakin tersosialisasi pendapat bahwa kita berhak untuk mendapatkan service yang baik akibat dari adanya pajak service tersebut, mungkin semakin banyak orang yang berani untuk mengajukan protes jika tidak dilayani dengan baik.Â