Bahasa menjadi jembatan makna antara komunikator dengan komunikan, yang memiliki peranan penting dalam berkomunikasi. Secara linguistik bahasa merupakan alat atau media komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa erat kaitannya dengan komunikasi verbal dikarenakan komunikasi ini mampu menciptakan interaksi dengan saling berbagi gagasan, informasi maupun pesan.
Fenomena percampuran antara dua bahasa atau campur kode sering kita jumpai di Indonesia. Campur kode ialah mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa ituyang menuntut pencampuran bahasa itu (Nababan, 1984:32). Faktor pendorong terjadinya campur kode ini adalah ragam bahasa yang ditentukan oleh penutur supaya menempatkan pada suatu lingkup tertentu meliputi, need for synonim yaitu untuk memperhalus maksud tuturan, social value, dan perkembangan budaya baru.
Kaum millenial sering kali menambahkan bahasa lain untuk dijadikan bahasa pergaulan. Seperti contohnya fenomena bahasa baru, yaitu campuran bahasa Indonesia dan Korea. Hal ini menggambarkan bahwa pengaruh korean wave berdampak pada proses kebahasaan masyarakat Indonesia.
Fenomena ini berawal dari seorang remaja bernama Adihitya yang mengunggah konten di akun tik toknya @adhityappeo. Ia berbicara dengan bahasa Indonesia dan menambahkan beberapa kata bahasa korea pada akhir kalimatnya. Pada salah satu videonya, ia mendatangi rumah temannya dan ingin mengajak bermain. Tetapi, temannya ini tidak bisa ikut bermain dikarenakan ingin pergi ke supermarket bersama keluarganya. Berikut percakapan keduanya :
A : “Ayo imnida kita main arasso.” (yuk kita main)
I : “Aku eo mau pergimnida.” (aku mau pergi)
A : “Mau pergi kemana arasso?” (mau pergi kemana?)
I : “Sayaneun mau pergi ke superindo yeo, kamu neun enggak boleh ikut yeo.” (saya mau pergi ke Superindo, kamu tidak boleh ikut).
A : “Ya sudah ya peyo, aku pulangmida.” (ya sudah, aku pulang ya)
Berdasarkan semiotika Ferdinand de Saussure, dapat kita temukan petanda atau signified yang muncul berupa kalimat percakapan antara Adit dan Idham. Petanda ini berfungsi untuk membongkar makna dalam setiap percakapan antara penutur dan tindak tutur.
Gaya bahasa yang ditemukan dalam percakapan antara adit dan idham pada teks diatas termasuk kedalam gaya bahasa yang santai atau parole . Seperti kata “enggak boleh” dari pemilihan katanya menunjukkan bahasa yang tidak baku. Pemilihan bahasa dalam percakapan tersebut dianggap bisa mencairkan suasana dan tidak terkesan kaku.