Jika standar dari sebuah bencana nasional adalah jumlah korban yang masif dengan sekala waktu tertentu, maka kecelakaan transportasi selama lebaran harus menjadi prioritas dengan penanganan darurat. Data yang dilansir Kompas.com memperlihatkan sampai H+3 lebaran jumlah kecelakaan mencapai 4.333 kasus. Dari jumlah tersebut korban meninggal mencapai 760 orang, luka berat 1.222 orang, dan luka ringan 4.086 orang. Total kerugian materi mencapai Rp 8,3 miliar. Sebagai perbandingan, korban bencana gunung merapi yang menyedot perhatian nasional dan ditanggulangi dengan sistem penanganan terpadu telah menelan korban meninggal mencapai 116 orang, sebagaimana yang dilansir Republika Online. Namun tulisan ini bukan hendak membandingkan jumlah korban dan tingkat urgensi sebuah bencana. Namun, lebih menitikberatkan bahwa bencana alam yang seringkali tidak terduga datangnya bisa dimaksimalkan pencegahan dan penanganannya, kenapa bencana transportasi lebaran tidak? Bencana alam meskipun sulit diperkirakan datangnya, penanganan dan pencegahannya senantiasa ditingkatkan dengan metode dan penemuan terbaru, greget dan semangatnya lebih terasa. Sementara bencana transportasi lebaran yang mencapai ribuan kasus tiap tahun dengan jumlah korban yang mencapai ratusan jiwa seolah menjadi berita yang sangat biasa. Padahal dengan jumlah korban jiwa yang fantastis, kecelakaan selama lebaran seharus menjadi hari berkabung nasional, bahkan bisa dikatakan inilah bentuk genosida dijalanan dengan membiarkan pemudik meregang nyawa dijalan.
Penanganan Mudik Lebaran Sebatas Perbaikan Infrastruktur
Mudik lebaran merupakan event kultural, event tahunan yang memacu euforia luar biasa, dengan pola dan persoalan yang hampir sama. Akan tetapi, pola penanganannya terasa jauh dari harapan, persoalan mudik lebaran hanya dikoalisir sebatas masalah transportasi dan infrastruktur penunjangnya semata. Persoalan mudik seharusnya dipecahkan dengan kajian kebijakan yang mendalam, yang melibatkan seluruh aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Sebab lebaran dan mudik merupakan event terbesar nasional, dimana terjadi mobilisasi yang luar biasa massif. Penanganan sebatas sisi transportasi dan infrastruktur sekdar mengurangi angka kemacetan dan tidak mampu menjadi solusi mudik yang aman, nyaman, dan terkendali. Kajian mengenai pelayanan mudik lebaran seharusnya sudah dikaji berbulan-bulan sebelumnya, mencakup persiapan transportasi, perbaikan infrastruktur, sistem libur lebaran, kesiapan petugas lapangan, koordinasi dengan swasta, dan penyiapan posko-posko kesehatan darurat di jalan yang berada di titik-titik rawan kecelakaan. Sistem libur lebaran mungkin bisa dikaji lebih lanjut kedepannya, dimana ada upaya sistemik melalui edukasi dan sosialisasi dari para pemudik agar bisa dikontrol gelombang mudiknya. Jika ini tidak bisa dilakukan karena menyangkut aktifitas ekonomi, maka pemerintah harus punya solusi lain, termasuk kemungkinan mengangkut pemudik dengan motornya sekaligus, mengingat kecelakaan didominasi oleh sepeda motor. Infrastruktur jalan dan transportasi tetap harus menjadi prioritas, karena inilah urat nadi perekonomian dan juga tumpuan utama mudik lebaran. Berbagai opsi untuk mengurangi angka bencana transportasi lebaran masih terbuka, sayangnya potensi korban jiwa dan kecelakaan seolah luput dari huru-hara dan kasak-kusuk politik negeri ini. Gresik, 26/08/2012 *)sumber gambar Antara/Prasetya Utomo *) Penulis Tinggal di www.adebaguskusuma.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H