Mohon tunggu...
Adhens
Adhens Mohon Tunggu... -

Sosial Worker

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bercermin dari Yondi Tentang Buruknya Sistem Pendidikan Indonesia

10 Juni 2010   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:37 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap Kontradiksi memang selalu mewarnai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal itu berlaku pula kepada kebijakan mengenai pelaksanaan UAN sebagai kunci utama atau penentu kelulusan seorang siswa, baik dari tingkat SD, SMP sampai SMA. Degan Syarat Nilai yang telah di tentukan seorang peserta UN dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak 2 mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran yang lain. Dan kabupaten / Kota atau satuan pendidikan dapat menentukan standar kelulusan UN lebih tinggi dari syarat sebelumnya.

Realitas dilapangan ada fakta menarik tentang ketentuan Kelulusan Peserta UN, ternyata bukan hanya Nilai Substansial akademis yang menjadikan patokan untuk meluluskan siswa, akan tetapi Nilai Moral juga menjadipertimbangan sebuah sekolah untuk mengeluarkan kebijakan lulus atau tidaknya seorang siswa. Nilai moral menjadi syarat untuk kelulusan seorang siswa seperti yang terjadi kepada Yondi Handitya ( Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta). Walaupun dia mendapatkan nilai di atas rata-rata untuk semua nilai mata pelajaran yang di ujikan akan tetapi ia dinyatakan tidak lulus karena akhlaknya yang tidak baik. Siswa yang dinyatakan lulus oleh sekolah tersebut adalah yang selain lulus seluruh mata ujian UN dan ujian sekolah, juga minimal mendapatkan nilai B dalam aspek akhlak-mulia, sedangkan Yondi mendapatkan Nilai C dalam Akhlak Mulia yang menjadi otoritas sekolahnya sehingga inilah yang menjadikan Yondi di tunda kelulusannya..

Keputusan yang di ambil oleh pihak sekolah menurut saya adalah suatu kebijakan yang sangat berani dan mungkin baru satu sekolah di negeri ini yang rela tidak meluluskan siswanya karena nilai akhlak yang tidak baik, padahal bukan rahasia lagi, dimana-mana banyak sekolah yang rela melakukan apa saja untuk meluluskan para siswanya seperti dengan memberikan kunci jawaban ujian ataupun memanipulasi lembar jawaban siswa dengan mengganti jawaban siswanya sebelum lembar jawaban itu di kirimkan ke pusat agar mendapatkan nilai di atas rata-rata.Keputusan tersebut merupakan suatu perlawanan terhadap rezim kognisi yang selama ini menjangkiti system pendidikan Indonesia, rezim yang mengagung-agungkan nilai untuk menilai kualitas seorang peserta didik tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari pembentukan karakter seorang siswa yang nantinya akan menjadi para penggerak bangsa ini.

Akibat kurangnya perhatian sekolah terhadap urgensi pembelajaran terhadap masalah akhlak dalam pendidikan maka akhirnya timbulah bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahmoral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).

Dari permasalahan sosial yang disebutkan di atas kita bisa menilai adakalanya nilai akhlak itu sangatlah penting untuk memperbaiki kualitas siswa ataupun SDM yang cerdas, bijak dan bermoral yang akan membatasi terhadap perilaku yang abmoral.Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individumaka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang mendasari akan pentingnya nilai pelajaran pendidikan moral terhadap kelulusan, karena dasar dari pendidikan itu sendiri yakni: 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).

Dalam tujuan pendidikan nasional itu sendiri tersurat akan pentingnya nilai-nilai moral yakni pendidikan yangmenitik beratkan pada sector kondisi pemerataan, keterjangkauan biaya dan tidak hanya sebagai rutinitas transfer ilmu tapi juga mananamkan nilai-nilai moral dan kepekaan sosial terhadap perubahan lingkungan. Selain itu jika melihat dari beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah yang antara lainnya adalah untuk :1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Maka Moral ataupun akhlak merupakan sebuah kunci dasar dari sistem pendidikan untuk membentuk pribadi-pribadi yang mampu menjadi seorang yang siap secara individual maupun social hidup di lingkungannya di mana mereka berada dan juga yang sesuai dengan Tujuan Pendidikan nasional.Paradigma pendidikan yang ideal semestinya dapat menggabungkan dan sekaligus menjaga keseimbangan antara aspek fisik dan aspek moralitas. Quraish Shihab (1992) pernah mengingatkan agar tujuan pembinaan pendidikan diarahkan menjadi tiga. Pertama, pembinaan akal yang menghasilkan ilmu. Kedua, pembinaan jasmani yang menghasilkan keterampilan. Dan ketiga, pembinaan jiwa yang menghasilkan kesucian dan etika. Kategori itu bisa dipakai sebagai pedoman untuk merinci aspek-aspek pendidikan yang mesti digabungkan dan diseimbangkan.

Bagaimanapun Negeri ini butuh para generasi penerus bangsa yang di bentuk dan dilahirkandari sekolah-sekolah yang tidak hanya memiliki kecerdasan secara kognitif akan tetapi kita membutuhkan para pemimpin-pemimpin yang memiliki kecerdasan moral dan akhlak mulia untuk menyelaraskan proses pembangunan yang seimbang antara kemajuan zaman dan keimanan atau bisa menyelaraskan IQ (intelligent Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ( Spiritual Quotient).Dan untuk membentuk pribadi seperti itu tentunya dibutuhkan pula kurikulum yang baik berdasarkan penanaman nilai-nilai budi pekerti serta akhlak yang luhur.

Kurikulum merupakan seperangkat pokok yang potensial dalam dinamika dunia pendidikan, ia bertindak sebagai dasar landasan sekaligus tujuan yang hendak di capai. Pada umumnya para pemimpin politik dan para pendidik secara eksplisit memandang pengetahuan-pengetahuan dan nilai-nilai dapat menghasilkan warga negara yang baik.(Dawson Prewitt 1969 ).Terutama masyarakat barat menganggap kurikulum sebagai jantung system pendidikannya, sehingga kurikulum ditata sedemikian rupa untuk memberikan dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan para murid dalam menumbuhkan semangat partisipasi mereka di tengah-tengah kehidupan masyarakat (Fisher, dikutip oleh Dawson Prewit, 1976). Oleh karena itu dengan kurikulum yang baik diharapakan akan timbul pula hasil para siswa yang baik yang siap berpacu dengan perkembangan zaman tanpa menggadaikan nilai-nilai ketimuran yang mempunyai tingkat moralitas yang baik . Pendidikan dikatakan berhasil kalau masyarakat mempunyai pribadi-pribadi yang bermoral dan berkepribadian baik.

Pengertian moral itu sendiri adalah menurut Gunawan Setiardja (1997:91) yakni bukan hanya apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang. Sedangkan padanan pengertian akhlak dalam istilah kefilsafatan adalah etika dan moral. Dalam penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat dimaknakan sebagai : 1. Sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran tentang kebaikan atau keburukan watak atau kelakua, 2. Sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun kelakuan yang baik, 3. Sesuatu yang timbul dari hati nurani, 4. Hal yang punya dampak kejiwaan, bukan keragaan, 5. Hal yang didasarkan atas kelayakan daripada bukti, 6. Prinsip yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah cerita atau kejadian, 7. Aturanaturan atau kebiasaan tingkah laku, khususnya tingkah laku seksual. (The American Heritage Concise Dictionary, dalam Jurnal Refleksi Filosofis terhadap Reformasi Akhlak (Moralitas) dan Masa Depan Bangsa oleh Armaidy Armawi)

Permasalahan Moral ataupun akhlak tentunya menjadi sebuah indicator tingkat Sumber Daya Manusia yang baik. Asumsinya Sumber Daya Manusia yang Baik adalah Seorang yang memiliki Tingkat Kognisi dan Moral yang Baik, tidak dilihat hanya dari satu sisi saja. Akan tetapi adanya keseimbangan antara moral yang dicerminkan lewat perilaku dengan pemikirannya yang dicerminkan lewat cara berfikir dan ide-ide hebat. Sumber daya manusia sebenarnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas menyangkut sumber daya manusia (penduduk). Sedangkan kualitas menyangkut mutu sumber daya manusia, yaitu kemampuan fisik maupun kemampuan non fisik (kecerdasan dan mental). Oleh sebab itu untuk kepentingan akselerasi suatu pembangunan di bidang apapun khususnya pendidikan, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu prasyarat utama. Yakni Sumber Daya Manusia yg utuh jiwa dan raga. Pembentukan Sumber Daya Manusia di masa-masa sekolah seperti SMA menjadi sangat penting guna mempersiapkan siswa untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi.

Kasus ketidaklulusan Yondi tentunya memicu perhatian dari seluruh media maupun lembaga bantuan hukum. Dan andai saja Yondi dimenangkan dalam suatu peradilan saya kira itu adalah sah-sah saja dan suatu kewajaran karena jika melihat dan mengacu kepada aspek pra syarat kelulusan yang telah di tentukan oleh Dinas Pendidikan yang tidak memasukan nilai akhlak dalam pra sayarat kelulusan seorang siswa , maka memang sudah sepantasnya yondi di menangkan dalam peradilan. Karena bagaimanapun hukum itu merupakan sesuatu yang tertulis dan mempunyai indikator-indikator perundang-undangan yang jelas. Semuanya itu kembali kepada dasar hukum tertulis untuk menentukan kelulusan dgn criteria yg telah di tentukan.. dan lagi pula nilai moral itu sendiri merupakan subjektifitas dari pihak sekolah tidak ada standarisasi nilai moral yang telah baku.maka di dalam peradilan dapat dilihat argument dari kedua pihak baik dari LBH maupun Pihak sekolah dan hakimlah yang menentukanargument mana yang lebih kuat. jika memang argument dari pihak LBH yang lebih kuat berdasar atas hukum yang tertulis maka memang sudah sewajarnya yondi mendapatka predikat kelulusan dari sekolah.

Bila kita mengacu pada landasan konstitusi negara kita (Pasal 28C UUD '45) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB (Indonesia adalah salah satu negara anggotanya), pendidikan adalah hak, bukan kewajiban. Dalam hak tidak ada pemaksaan dari pihak luar, kecuali pihak yang dirugikan haknya juga. Bila setiap sekolah sudah mewajibkan siswa untuk masuk sekolah, dan kalau tidak masuk harus memberitahu, wajib mengerjakan tugas, dan lain-lain, itu sudah menyalahi konstitusi negara kita.

Rabindranat Tagore sudah pernah mengatakan, sekolah formal adalah siksaan yang tak tertahankan? Dan Ivan Illich pun mengatakan bahwa sekolah sudah menjerat manusia menuju peradaban yang menghinakan, sekolah sudah memperbudak manusia secara mendalam dan sistematis, sekolah membuat tak seorang pun yang terlibat di dalamnya luput dari eksploitasi. Illich pun menyimpulkan, "Tidak seorang pun dapat dimaafkan kalau gagal membebaskan dirinya dari kegiatan bersekolah" (2008: 65).

Konsekuensinya jika saja kasus yondi ini dimenangkan maka alhasil tentunya sangat berdampak buruk terhadap proses reformasi system pendidikan yang ada di Indonesia, makin banyak para pelajar yang semakin pragmatis yang hanya mengejar nilai dan rezim kognitif mulai berkuasa lagi tanpa adanya moral yang mengakibatkan para generasi bangsa ini menjadi pembelajar yang haus akan nilai semata tanpa memperhatikan substansi dan proses cara bagaimana nilai itu. selama ini kita semua turut membiarkan sebuah ketidakadilan: dominasi rezim kognisi. Kepandaian ataupun nilai seseorang hanya di ukur dari Akal. Akibatnya dapat kita lihat sendiri menjamurnya orang-orang yang berkerah putih yang merampok harta negara seperti Gayus Tambunan, dan gayus-gayus lainnya yang belum terdeteksi oleh KPK atau bahkan lebih parah lagi akan melahirkan generasi-generasi seperti Yahya Zaeni yang melakukan perbuatan sangat tidak bermoral yang dapat mencoreng nama lembaga tingi negara. Bayangkan betapa encernya otak mereka namun tingkah pola mereka tidak pantas dikatakan sebagai orang yang berpendidikan.

Kasus tertundanya kelulusan yondi merupakan sebuah shock theraphy untuk sistem pendidikan Indonesia. Kasus tersebut merupakan cara bagaimana pendidik di SMAN 9 Yogyakarta mempersiapkan para peserta didiknya untuk menjadikan siswanya yang tidak hanya unggul dalam prestasi akan tetapi juga memiliki akhlak yang mulia, sekaligus menyadarkan masyarakat luas akan pentingnya akhlak bagi suatu pendidikan dan untuk segera mengakhiri rezim kognisi melakukan proses reformasi pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun