Akhir-akhir ini kepemimpinan Jokowi Ahok menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Selain berupa serangan politik dengan mengeksploitasi berbagai isu negatif terhadap segala pencapaian kinerjanya, antara lain persoalan banjir yang masih melanda Jakarta, dan berbagai komentar miring para politisi mengenai isu KJS yang belum sempurna, penyadapan di Kedubes Amerika, pelanggaran HAM di Waduk Pluit. yang kelihatan sekali asal bunyi dan ngawur. Namun isu terakhir mengenai pengadaan Bus Transjakarta bekas dan macetnya Proyek Monorel cukup menyita perhatian yang serius dari Jokowi-Ahok karena ini menyangkut kelemahan dalam Sistem Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa yang berujung dengan penggantian banyak pejabat dalam Struktur Organisasi Pemerintahan Pemda DKI.
Secara umum Pengadaan Barang dan Jasa sudah ada Undang-undang dan Peraturan Pemerintahnya yang mengatur mekanisme pengadaan dari mulai Pembagian wewenang dan tanggung jawab penggunaan anggaran oleh pejabat terkait, mekanisme seleksi vendor melalui Kualifikasi Awal ( Prakualifikasi), mekanisme Lelang (Tender), mekanisme pengawasan selama proses pengadaan ( Supervision ), dan cara serah terima barang atau jasa ( Hand Over). Namun demikian proses pengadaan barang dan jasa ini adalah kegiatan paling rawan terjadi penyimpangan dan korupsi karena mekanisme detail dan kerumitanprosesnya banyak masyarakat awam yang tidak tahu. Apalagi jika sudah menyangkut dana Pinjaman Luar Negeri (Loan) dan proyek-proyek investasi swasta.
Kembali ke masalah Proyek Monoraildan Pengadaan Bus Tranjakarta saya melihat ada titik lemah Pemda DKI dalam manajemen pengadaan yang harus segera dibenahi yang bisa dikelompokkan sebagai berikut:
- Kurangnya Tanggung Jawab dari pejabat KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen / Penanda tangan kontrak)khususnya untu Tender Pengadaan Bus TJ.
2.Kelayakan kemampuan keuangan investor dalam kasus Monorail dipertanyakan. Kelihatannya Proyek Monorel ini sudah sejak jaman Foke dikuasai oleh para makelar dan calo proyek yang hanya jual omongan nggak punya duit. Proyek dengan type BOT (Build Operate Transfer) ini memang tidak terlalu beresiko dari segi penyimpangan keuangan akibat kesalahan pembayaran namun cukup beresiko dari segi kualitas pekerjaan dan waktu penyelesaiannya.
3.Kurangnya tenaga ahli Manajemen Konstruksi dan Manajemen Kontrak yangmelakukan pengawasan dalam setiap tahapan proses pengadaan untuk menghindarkan kecurangan-kecurangan dalam pengadaan baik yang disengaja karena kolusi korupsi dan yang tidak disengaja karena kelalaian dalam pengawasan. Juga untuk mengawal Project Time Schedule sehingga waktu pelaksanaan tidak molor.
4. Tahap Prakualifikasi dalam Tender Bus TJ tidak berjalan dengan benar, terbukti dengan bisa masuknya vendor abal-abal yang tidak punya pengalaman dan reputasi jelas bahkan pengadaan bus di subkontrakkan lagi secara keseluruhan tanpa ada kriteria dan seleksi kemampuan Subkontraktor.
5.Solusi E Catalog yang disampaikan Ahok untuk pengadaan Bus Tj tidak akanmenyelesaikan masalah jika problem pokok manajemen pengadaan tidak di perbaiki, permasalahan serupa akan terulang.
Tulisan ini semoga menambah bahan masukan bagi pemerintahan Jakarta Baru dibawah Jokowi-Ahok. Kesungguhan kerja Jokowi-Ahok sudah diperlihatkan dengan jelas dan perlu diapresiasi karenamemberikan angin segar bagi kemajuan kinerja riil pemerintahan yang saat inididominasi oleh pemimpin“omong doang” yang hanya terampil berwacana. Karena itu sudah seharusnya masyarakat luas ikut menyumbang tenaga dan pikiran kepada Jokowi-Ahok untuk harapan baru Indonesia. Kesalahan dan kekurangan adalah wajar dan baru akan terlihat setelah ada progres pekerjakan. Saya sangat setuju dengan moto Jokowisegera Kerjakan dan Kontrol (diawasi).
Ade Darma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H