Sayang seribu sayang, aku menangis dalam senyum, menyembunyikan semua masalah yang hadir membayangi jiwa-jiwa, setiap hari, setiap jam, dan waktu. Tanpa ampun menyeretku dalam kubangan penderitaan.
      Dulu aku pernah bersumpah, tidak akan menangisi penderitaan separah apa pun. Nyatanya, kini aku mulai putus asa. Harapan-harapan baik perlahan menghindariku yang malang ini. Aku menjadi daif tatkala setiap cobaan datang menghadang.
      Keluarga, sanak, dan saudara pun tak ada yang membersamaiku. Mereka telah bosan mendengarkan segala rengekan bodohku. Mereka pula yang membuat masalahku semakin rumit seperti benang kusut. Kini aku berada di ujung tanduk, seolah kematian adalah satu-satunya hal terindah dalam hidup.
      Sekalipun begitu, aku masih sedikit bangkit melawan segala ketidakmungkinan melalui kepasrahan dengan mengatakan:
      "Apa yang terjadi, terjadilah..."
      Kuharap semua akan baik-baik saja, meski itu tak akan baik. Apalagi berharap bahwa kelak akan ada keajaiban yang datang menghampiri diriku ini. Sungguh untung-untungan yang tidak pasti.
      Atas semua hal yang tak pasti, aku pamit undur diri. Berjalan ke sebuah tempat sepi nan sunyi agar aku bisa menata kembali harapan-harapan yang telah roboh. Di sana aku akan berkonsentrasi mencari solusi agar semua bisa kembali seperti sedia kala.
      Di sana kelak aku akan belajar bahwa kehidupan yang begitu rumit akan kugenggam dalam kepalan tangan dan tak akan kumasukkan dalam hati. Sebuah perubahan akan kugapai, meski tak semudah membalikkan telapak tangan dan butuh waktu yang lama.
      Pertanyannya, "Apakah aku mampu melakukan hal itu?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H