Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membeli Kucing dalam Karung

26 Juli 2021   10:02 Diperbarui: 26 Juli 2021   10:12 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang terbayang dalam benak kalian ketika mendengar kata "pernikahan?" Pasti kalian akan menjawab:

                "Pernikahan itu ibarat menggabungkan sebuah botol dengan tutup botol. Keduanya ditutup erat-erat, walaupun mereka berakhir di tempat sampah. Mereka akan bersatu selama-lamanya di sana sampai didaur ulang pabrik."

                Ah tidak juga, aku tak sepakat. Menyetarakan persoalan pernikahan dengan tutup botol merupakan sesuatu yang tidak pas. Meminjam bahasa gaul saat ini, "Tidak Apple to Apple." Amat sederhana jika kedua hal itu disejajarkan.

                Di belahan dunia manapun terdapat ribuan botol yang didaur ulang tanpa tutup botolnya. Entah terbuang di tempat lain, atau mungkin hilang ditelan bumi. Sama halnya dengan sebuah pernikahan yang awal mulanya tergenggam erat seperti botol dan tutup botol, perlahan melepas dan terpisah jauh akibat perbedaan sikap, kebiasaan, dan tingkah laku.

                "Itukah definisi pernikahan menurut kalian? Sungguh definisi yang hipokrit, seakan terlihat romantis, namun berujung tragis. Mengapa kalian tidak memberikan definisi yang sinis tentang pernikahan? Sebuah penjabaran bahwa pernikahan bak memegang bara api di tangan kanan, namun ia harus mempertahankannya. Apabila sebentar saja ia melepaskan, maka hancurlah konsep pernikahan itu."

                Kalian diam, bersungut-sungut. Ingin sekali mulut-mulut kalian protes, sayang tidak sanggup membantah argumenku. Mungkin karena mata kalian telah buta akan realita pernikahan yang sebenarnya. Sebuah realita pahit, kaya akan perceraian dan kedustaan.

                Jauh dari lubuk hatiku yang terdalam, aku akan memberikan kalian sebuah jokes singkat tentang pernikahan. Bagiku, pernikahan itu seperti membeli kucing dalam karung.

                "Hah? Apa iya?" Ujar kalian protes kepadaku.

                "Dengarkan baik-baik, selama apapun kita mengenal pasangan sebelum menikah, tidak lantas membuat kita tahu borok-boroknya hingga seratus persen. Ada beberapa borok yang  ditutupi hingga akhirnya menjadi kejutan saat mengarungi bahtera pernikahan."

                "Taruhlah sebelum menikah kalian hanya tahu satu borok, yaitu pasangan kalian cerewet. Setelah menikah, akan ada jutaan borok. Entah kikir, medit, hasad, iri, dengki, dan lain-lain. Sama halnya membeli kucing dalam karung, kalian tidak akan tahu kucing yang dibeli baik dari warna, bentuk, fisik. Saat beruntung, kalian akan mendapatkan kucing indah sesuai selera kalian, namun saat apes, kalian akan mendapatkan kucing buruk berpenaykit."

                Seketika kalian bergidik ngeri, membenarkan apa yang kukatakan. Ada kalanya pernikahan itu memang indah, namun tak dapat dipungkiri pula bahwa pernikahan akan membawa penderitaan. Kini kalian semua sepemahaman denganku, tidak ada lagi yang mencoba protes akan argumenku.

                Ya lebih baik melajang seumur hidup daripada menemui sebuah resiko akibat pernikahan yang cacat dimana akan berujung pada perceraian. Kalian tak lagi memikirkan pernikahan, hanya kesendirianlah yang akan menemani kalian.

                "Pernikahan tak sama dengan cerita cinta ala sinetron yang mendayu-dayu penuh kemesraan. Pernikahan hanyalah sebuah janji yang apabila tak ditepati hanya akan menjadi omong kosong tanpa arti."

                Itulah yang kalian katakan sekarang, dan aku tersenyum telah mencuci otak kalian dengan pernak-pernik penderitaan akan pernikahan.

*****

                Istilah pernikahan sama dengan membeli kucing dalam karung tidak secara tiba-tiba mampir dalam benakku. Hal itu berlangsung cukup lama tatkala aku mengalami masalah dalam pernikahan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

                Ketika jauh-jauh sebelum akad terucap, aku telah berkata kepada seluruh keluarga besar istriku bahwa aku ini cacat secara fisik. Tak bisa bekerja akibat kaki kanan yang telah diamputasi karena kecelakaan parah di dalam pesawat terbang beberapa tahun silam.

                "Ah tak masalah nak, pernikahan tak memandang fisik dan ekonomi. Asalkan sama-sama suka, pasti akan berujung pada bahagia."

                Jawaban itu yang terlontar dalam benak keluarga istriku, begitu bijak aku mendengarnya,  namun ketika pernikahanku baru beranjak seumur jangung, justru kata-kata arogan mampir di dalam telingaku.

                "Hai anak malas, bagimana kau akan menghidupi anak dan istrimu jika tak bisa bekerja? Sudah cacat, malas pula!"

                Kata-kata serupa terus-menerus mereka lontarkan, bahkan semakin parah, hingga akhirnya aku memutuskan berpisah dengan istri beserta keluarganya. Sungguh kisah tragis yang membuatku semakin traumatis. Aku menjadi sinis dalam memandang pernikahan. Bagiku pernikahan hanyalah sebuah benih-benih permusuhan dengan mengedepankan jargon persaudaraan.

                Aku tak mau lagi terlibat dalam perdebatan definisi pernikahan. Bagiku sudah final bahwa pernikahan itu...

                "Membeli kucing dalam karung."

                Terserah jika kalian semua tak sepakat, karena aku si anak cacat hanya berpendapat. Aku tak mencari justifikasi salah dan benar, namun aku hanya bercerita tentang kopi pahitku dalam sebuah pernikahan.

                "Bagi yang sudah menikah, selamat merasakan kopi pahit kalian."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun