Mohon tunggu...
Ade Lanuari Abdan Syakura
Ade Lanuari Abdan Syakura Mohon Tunggu... Guru - Bersatu padu

Hanya manusia biasa yang diberikan kehendak oleh Tuhan untuk menggoreskan pena pada secarik kertas kusam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menyendiri dari Manusia Pemakan Bangkai

19 Oktober 2018   07:13 Diperbarui: 19 Oktober 2018   08:40 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana kantorku selalu bising dengan berbagai macam suara gunjingan orang-orang. Entah mengapa, orang-orang di kantorku hoby sekali memakan "bangkai orang lain." Sebenarnya,  fenomena gunjing menggunjing tidak hanya di kantorku, tapi juga sering ku temui di tempat-tempat lain, seperti pasar, cafe, restoran, angkringan, dan tempat-tempat umum lainnya. Pada dasarnya memang sudah menjadi kebiasaan, tapi menurutku yang biasa belum tentu benar, karena orang tuaku dulu pernah menasihatiku dengan kata-kata demikian:

"Nak, jangan pernah membenarkan kebiasaan tapi biasakanlah kebenaran."

Nasehat itu terus-menerus terhujam di dalam hatiku yang paling dalam hingga saat ini. Maka dari itu, sejak pertama kali aku ke sini, tak pernah sekalipun aku bergabung bersama teman-temanku ketika mereka duduk bersama untuk ngobrol ngalor-ngidul, gunjing sana, gunjing sini tanpa arah yang jelas. Aku banyak menghabiskan waktu duduk di meja bersama hp dan laptopku. Waktu yang ada, kugunakan sebaik-baiknya untuk bekerja, dan saat semua tugas sudah kuselesaikan, aku manfaatkan wifi di kantor untuk membaca berita-berita aktual dari berbagai media massa.

"Jon, ayo gabung disini bareng kita, jangan nyendiri disana terus." Heru menyuruhku untuk bergabung.

"Nanti Her, aku lagi ada banyak tugas dari bos."

Sebenarnya tugasku sudah selesai sejak 30 menit yang lalu. Aku terpaksa bohong kepada Heru karena tidak mungkin aku gabung ke sana untuk sekedar ngobrolin yang tidak penting. Jika benar-benar terpaksa harus gabung, aku paling hanya menjadi pendengar setia mereka. Pernah suatu ketika aku dipaksa gabung sama mereka, dengan berat hati aku mendengar aib-aib rekan kerjaku. Mulai dari tukang sapu, satpam, staf, manajer, HRD, sampai jajaran direktur semuanya pernah digunjingkan sama gerombolan si Heru. Suatu ketika,

"Eh Her, kamu tau enggak si Joko satpam yang suka ada di depan?" Tanya Riki kepada Heru.

 "Emang kenapa?" Tanya Heru dan teman-temannya.

"Denger-denger dia mau cerai sama isterinya."

"Wah beneran tuh?" Kini giliran Jay penasaran.

"Bener bro. Katanya sih gara-gara urusan ekonomi. Tahu sendiri kan si Joko kerjanya cuma jadi security, nah dia harus ngidupin satu istri dan empat orang anak ya jelas enggak cukup. Apalagi istrinya cuma ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah."

 "Emang anak-anaknya masih pada sekolah?" Tanya Jay lagi.

"Iya bro. Anak pertama SMA, kedua sama ketiga masih SMP. Yang terakhir masih SD."

"Wah wajar aja istrinya minta cerai. Gaji satpam itu paling cuma satu jutaan. Satu juta buat ngidupin satu orang istri sama empat orang anak. Ya jelas enggak cukup. Kalo aku jadi istrinya, aku juga bakalan minta cerai." Heru semangat sekali menimpali

Sungguh telingaku panas sekali mendengarnya. Bukan karena Joko sahabatku, tapi karena aku tidak menyukai bahan pembicaraan mereka. Setelah berkumpul bersama mereka agak lama, aku pamit dengan cara baik-baik dengan alasan kerjaan masih menumpuk. Untungnya, mereka mempersilahkanku dengan baik.

Demi Tuhan, sekitar 20 menit bersama gerombolan Heru serasa 5 jam arisan bersama emak-emak rempong. Benar-benar aku tidak kuat bersama mereka.  Sesekali ada guyonan atau banyolan yang hanya dimengerti mereka. Mungkin bagi mereka terasa lucu, namun bagi bagiku terasa "receh" sekali. Seandainya, suatu saat mereka menggunjing, seseorang yang digunjingkan datang, dan mendengar pembicaraan mereka, bisa jadi orang yang digunjingkan melayangkan bogem ke arah mereka.

Ah sudahlah. Lagi pula mereka tidak pernah membuat masalah denganku. Yang penting aku bisa mengerjakan tugas-tugasku dengan baik dan tidak terlalu sering berinteraksi dan berkumpul bersama mereka. Tiba-tiba,

"Jon, lagi ngapain kamu? Sini ngumpul sama kita-kita."   Lagi-lagi Heru mengajakku dari kejauhan.

"Sorry Her, aku masih banyak tugas dadakan dari si Bos. Nanti kalo udah selesai aku kesana." Jawabku sambil menampakkan senyum palsu.

"Oh oke Jon. Lanjutin dulu aja."

Begitulah suasana di kantorku. Sehari-hari aku lebih suka menyendiri dan mengisolasi dari gerombolan manusia pemakan bangkai. Aku tidak ingin seperti mereka. Lebih baik aku menjadi sosok penyendiri karena mereka, daripada aku menjadi bagian dari gerombolan manusia pemakan bangkai.

Aku masih berada di depan laptop, pura-pura mengerjakan tugas dari bos. Sementara itu, Heru dan gerombolannya tertawa terpingkal-pingkal karena menggunjingkan orang lain.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun