Kasus penyiksaan warga sipil oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua menjadi sorotan utama dalam agenda hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Kejadian ini mencuatkan perbincangan hangat mengenai perlindungan hak serta kewajiban warga Negara di wilayah tersebut dalam menjaga kedaulatan dan kedamaian.
Sebagaimana yang tercantum pada UUD mengenai beberapa pasal terkait hak dan kewajiban warga negara, yaitu;
a. Pasal 28I Ayat 1, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
b. Pasal 28I Ayat 2, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
c. Pasal 28I Ayat 4, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”
d. Pasal 28J Ayat 1, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Menurut Srijanti, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan, kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan).
Namun hak dan kewajiban yang dimaksudkan tersebut tidak seperti yang terjadi di Papua. Pasalnya, kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil papua bukan hanya terjadi baru-baru ini tapi sudah lebih dari 50 tahun. Pakar konflik dan hukum humaniter dari STF Driyarkara, Budi Hermawan, menyatakan berdasarkan penelitiannya, dari 431 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap orang Papua yang dia telaah, sebanyak 39% terjadi di tempat umum, 24% di kantor polisi, dan 12% di pos militer. Dari total kasus tersebut, 65% dilakukan oleh anggota tentara, 34% oleh polisi, dan 1% oleh milisi yang mendukung kemerdekaan. Ia juga mengatakan bahwa tindakan kekerasan oleh aparat terhadap warga sipil di Papua terus muncul karena banyak kasus sebelumnya tidak diatasi dengan serius, sehingga kekerasan semakin dianggap wajar dan biasa.
Kekerasan yang dilakukan aparat antara lain seperti menendang, memaksa berjalan jongkok, lari dan, push-up. Tidak hanya itu, beberapa kasus juga menyatakan bahwa aparat keamanan menyiksa warga sipil hingga mengakibatkan kematian. Seperti kasus penyiksaan sampai mati yang dilakukan oleh 4 personel Yonis Banteng Raiders terhadap Janius Bagau dan Justinus Bagau.
Lalu, pada Maret 2023, Pengadilan Militer Makassar memutuskan bahwa tujuh anggota Yonif 443 Julu Siri bersalah karena melakukan penyiksaan, pembunuhan, dan pembakaran terhadap dua warga sipil di Intan Jaya, yakni Apinus Zanambani dan Luther Zanambani. Adapun yang baru-baru ini terjadi dan membuat kekerasan terhadap warga sipil di Papua kembali menjadi perbincangan hangat adalah tewasnya satu dari 3 orang warga sipil asli papua yang dituduh sebagai milisi pro-kemerdekaan. Mirisnya saat penangkapan ini terjadi TNI menyatakannya sebagai sebuah keberhasilan. Ini baru beberapa kasus dari banyaknya kasus yang terjadi.
Sangat disayangkan melihat aparat keamanan yang seharusnya melindungi warga sipil malah berbalik menjadi oknum yang menyakiti. Apalagi dilihat dari beberapa kasus dengan latar belakang yang sama dimana awalnya warga sipil dituduh sebagai TPNB atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat karna aparat sulit membedakan penampilan warga sipil dan TPNB yang berpenampilan mirip, ini adalah sebuah kelalaian. Lalu, semakin dilihat rasanya mereka menyiksa bukan karna tugas atau prosedur untuk mendapatkan jawaban tapi hanya untuk menunjukan kekuasaanya, mereka merasa memiliki kuasa dan kekuatan.