Matematika bagaikan mimpi buruk buat saya. Sejak SD sampai sekarang saya paling alergi dengan mata pelajaran yang satu ini. Tidak heran kalau nilai matematika di raport saya selalu pas-pas’an (beruntung jaman saya belum ada UAN, wah…kalau saya ikut UAN bisa nggak lulus deh). Dulu saya suka protes kalau disuruh belajar matematika yang susah-susah. Kenapa sih saya harus mempelajari logaritma, trigonometri, limit, dll, kan saya nggak kepengen jadi sarjana teknik, kenapa saya harus dipaksa bisa? tapi saya cuma bisa protes dalam hati, mau gimana lagi, materi itu wajib dipelajari di sekolah. (Salut buat teman-teman yang jago matematika, kalian hebat luar biasa!!)
Saya punya pengalaman buruk waktu SMP dulu, saya pernah distrap di depan kelas gara-gara tidak bisa jawab pertanyaan. Kondisi ini diperparah dengan situasi belajar-mengajar yang menegangkan, setiap pelajaran matematika saya selalu deg-degan dan khawatir takut kalau disuruh maju kedepan. Saya seperti trauma belajar matematika, sejak SD saya sering dapat guru yang galak, saya jadi stres duluan susah konsentrasi karena tegang. Keadaan yang sama berlanjut sampai saya kelas 3 SMA. Biasanya pagi-pagi atau jam istirahat saya tanya sama teman kelas sebelah, soal-soal apa saja yang tadi dibahas, jadi saya lebih siap kalau disuruh maju mengerjakan soal di papan tulis. Saya pernah nekat tidak menjawab satu pun soal ulangan matematika, kertas saya putih polos tanpa ada coretan apapun. Waktu hasilnya dibagikan, guru saya tidak memberikan nilai nol (0) tapi tanda tanya (?) besar, sejak saat itu hampir setiap pelajaran matematika saya pasti disuruh maju kedepan.
Terkadang saya bingung dengan sistem pendidikan di Indonesia. Murid dituntut harus bisa menguasai bidang studi dengan kurikulumnya yang berat dan terlalu banyak yang harus dipelajari. Kenapa seorang murid yang tidak bercita-cita menjadi sarjana teknik atau ilmuwan dipaksa harus mempelajari rumus-rumus yang njelimet? Kenapa anak yang tidak berminat dengan matematika atau bidang studi lainnya harus dibebani mempelajarinya berjam-jam dalam seminggu. Kenapa murid-murid tidak diarahkan untuk mendalami ilmu yang dia minati, bukankah hasilnya akan lebih maksimal? Minat itu tidak bisa dipaksakan dan saya yakin bahwa setiap orang punya bakat dan potensi yang berbeda. Entahlah saya tidak tau apa yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini sepertinya malah semakin membebani siswa, belum lagi biaya sekolah dan buku-buku yang mahal, duh..jadi gemes.
Ngomong-ngomong tentang matematika, 2 minggu yang lalu saya bertemu dengan Ari, Seorang murid SMA dari sekolah favorit di Jakarta, sekarang dia pindah sekolah ke Australia ikut ibunya yang sedang mengambil PhD. Dia juga berpendapat sama dengan saya. Dia merasa berat dan terpaksa mempelajari logaritma dan matematika tingkat tinggi lainnya. Sore ini saya bertanya kepada seorang anak kelas 2 SD, Ais namanya, dia juga mengeluhkan hal yang sama. Dengan gaya polosnya dia bilang sekolah di Indonesia pelajarannya susah, banyak, semua harus dihapalkan, gurunya juga galak suka pukul penggaris kayu yang besar ke meja, aku jadi takut. Kalau disini enak pelajarannya cuma tiga Sains, Arts dan Berhitung, gurunya baik-baik, belajarnya juga asyik. Sambil bercanda saya bilang kalau di Australia kan gaji gurunya tinggi, muridnya sedikit, makanya baik-baik, coba kalau disuruh ngajar di SD negeri di Indonesia, gajinya kecil, muridnya banyak, berisik, pasti stres juga dia,hehehehe…. Ais hanya tersenyum, entah paham atau tidak maksud saya.
Saya juga sempat menanyakan pengalaman orang tua Ais tentang pendidikan di luar negeri (Mereka pernah tinggal di Kanada selama 6 tahun dan di Australia sudah lebih dari 2 tahun). Mamanya Ais bilang disini anak-anak hanya diajarkan materi intinya saja (konsep dasar) dan cara mengajarkannya juga kreatif sehingga anak-anak tertarik dan senang belajar. Contohnya ketika anak-anak diajarkan tentang panca indera (mata), mereka tidak hanya belajar teorinya saja, mereka juga diajarkan bagaimana mensyukuri mata ciptaan Tuhan. Mereka diminta memejamkan mata dan gurunya bertanya pada mereka apakah bisa menulis, bercermin, berjalan dan beraktivitas dengan baik kalau tidak bisa melihat? Dengan cara ini anak-anak menjadi paham bagaimana mensyukuri dan menjaga panca indera yang diberikan Tuhan. Mereka diajarkan untuk menghargai orang yang memiliki kekurangan (cacat) dan tidak merendahkan mereka. Ketika ada materi tentang awan, gurunya tidak berpanjang lebar dengan teori tapi langsung mengajak anak-anak keluar kelas memandangi awan dan memberitahu jenis-jenis awan yang sedang nampak di langit. Wah…beda ya…dulu waktu sekolah saya belajar tentang panca indera seperti mau kuliah kedokteran saja, belum lagi harus menghapalkan jenis-jenis awan yang belum tentu saya bisa membedakannya kalau melihat langsung. Beruntung sekali Ais dan kakaknya, mereka bisa merasakan pendidikan di negara maju seperti di Australia dan Kanada. Saya jadi berandai-andai coba kalau dulu saya disekolah diajarkan seperti Ais, mungkin sekarang saya menjadi pencinta matematika dan sains. Ya..sudahlah, sepertinya saya memang tidak berbakat di bidang ini. Saya tidak boleh menyesal karena semua ilmu yang diajarkan di sekolah/di kampus insyaAllah bermanfaat dan tidak ada kata terlambat untuk memulai mempelajari sesuatu yang belum kita kuasai atau belum pernah kita pelajari sebelumnya.
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyampaikan salam hormat untuk guru-guru saya dan semua guru di Indonesia, tanpa jasa kalian mungkin saya tidak bisa menulis dan membaca, tidak bisa melanjutkan pendidikan seperti sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik dan pahala yang terus mengalir dunia akhirat. Saya juga berdoa untuk anak-anak Indonesia agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik, lebih baik dan lebih baik lagi, amin ya rabbal alamin….
Canberra, 7 Maret 2010 (01:12 am)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H