Aku tulis kau mungkin percaya padaku. Percaya kepada seorang teman yang pernah menjadi seorang bocah kecil seperti diri kau sekarang. Pernah? Jangan-jangan masih. Tapi sebagaimanapun kita menua, masih ada bocah itu di dalam diri kita.
Aku menulis tentang kau. Tentang seorang bocah belasan tahun. Yang tak tahu apa yang hilang. Kau katakan sering menangis. Untuk yang hilang? Atau yang belum ketemu? Apakah hilang bila belum ketemu? Atau sudah ada sebelumnya?
Aku tulis bahwa aku sudah mulai mengulang-ulang kata-kataku. Kehilangan kata-kata. Kehabisan kata-kata. Apa hilang berarti sudah habis? Yang hilang, habis, apa bisa ditemukan? Yang pasti jangan dicari. Kenapa?
Aku tulis bahwa aku akan berhenti seperti ini. Menulis tentang kau yang lebih seperti tentang aku. Semoga kau segera ketemu. Bila sudah ketemu, katakan padaku, tuliskan seperti ini, agar aku tahu. Seberapa dewasanya kau dan seberapa bocahnya aku.
Aku menulis tentang kau. Semoga kau mengerti.
Aku tulis bahwa telah bertahun-tahun lewat. Kau kembali menemuiku, di sebuah bar. Kau sudah dewasa, paling tidak, itu yang kelihatan. Kau cerita tentang yang hilang darimu dulu. “Yang hilang jangan dicari, tapi ditemukan,” kau ulangi kata-kata itu. Kau bercerita, awalnya tak tahu apa yang hilang, tapi pada suatu pagi kau mengamati toples kelerengmu. Sekitar selusin kelereng bening warna-warni membuatmu terperanjat, karena yang warna putih susu tiada. Tanpa sengaja kau menemukan apa yang hilang. Kau melompat girang. Lalu segera kau murung, karena ada yang hilang.
Aku menulis tentang kau yang bercerita kau habiskan bertahun-tahun memikirkan kelereng putih susu itu. Hanya memikirkan di mana kemungkinan dia berada. Tanpa mencarinya, karena kubilang jangan. Namun, beberapa hari lalu, ketika kau sudah tak memikirkannya lagi, pada suatu pagi, ketika menyapu rumah, kelereng putih susu menggelinding dari balik nakas. Kau memungutnya dan tersenyum bahagia. Lalu segera kau murung, karena waktu yang terbuang.
Aku menulis tentang kau yang kini duduk di sebelahku, berminggu-minggu setelahnya. Kau bertanya padaku, “Apa ini maksudmu?”
Aku terkekeh. Lalu meneguk bir dingin yang telah lama kubiarkan, menaruh gelasnya kembali di meja bar dan aku berkata, “Entahlah, aku belum ketemu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H