Mohon tunggu...
Addie DA
Addie DA Mohon Tunggu... Arsitek - Mempunyai profesi sebagai ibu mandor dan tukang gambar bangunan.

Mempunyai hobi menulis yang dipupuk sejak remaja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saya Adalah

28 Februari 2024   18:39 Diperbarui: 2 Maret 2024   08:30 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya adalah merah di selai kacang, di antara roti tawarmu. Saya adalah abu-abu di hitamnya espressomu. Saya adalah magenta di cokelatnya sepatumu. Saya tak terlihat. Saya tersamarkan.

Saya adalah mesin ketik di kolong tempat tidurmu. Saya adalah pantofel tua di rak sepatumu. Saya adalah ransel butut di lemarimu. Saya adalah poster New Kids On The Block tergulung debu di balik pintumu. Saya adalah kaset Michael Jackson di lacimu. Saya tak terlihat. Saya terlupakan.

Saya tahu kamu suka kopi kampung yang teramat pahit, yang menyisakan ampas terlampau banyak. Saya tahu kamu suka Martin Scorsese. Saya tahu kamu suka Lou Reed dan New Order. Saya tahu kamu mengagumi Mochtar Lubis dan Nurul Arifin. Saya tahu kamu mencintai keripik pasta pedas 500-an dan es krim vanilla. Saya tahu kamu suka warna merah dan senja jingga. Saya tahu kamu suka perjalanan panjang tanpa tujuan. Saya tahu kamu suka jins belel dan sepatu kanvas. Saya tahu kamu suka bermimpi bersama musik di telingamu.

Juga saya tahu kesukaanmu akan teri kacang, akan sastra dan kumpulan cerpen, akan serial Ally McBeal dan film horor, akan kucing. Akan kerlap lampu kota di malam tanpa bintang, akan sunyi kabut di malam penuh bintang. Akan menulis semua pikiranmu, akan laki-laki berambut cepak, akan berpuisi dan melukis, akan biskuit kecilnya cappuccino, akan rokok putih. Akan jatuh cinta dan dicintai. Akan lembah bercahaya dari kafe temaram di atas gunung, akan aroma setelah hujan dan bunga melati.

Saya tahu sedikit tentang kebencianmu. Jarang kamu mengungkapkan kebencianmu. Kamu seperti jarang membenci. Mungkin kamu membenci sepatu yang kotor terkena tanah becek, mungkin kamu membenci sinetron yang tak ada habisnya, mungkin kamu benci film yang disulihsuarakan. Mungkin kamu benci pikiran yang dangkal, mungkin kamu benci asap dari sampah tetangga yang dibakar di pagi hari. Mungkin kamu benci kepalsuan. Mungkin kamu benci George Bush, mungkin kamu benci Raam Punjabi. Mungkin kamu benci tahi kuda, mungkin kamu benci menunggu, mungkin kamu benci saya. Tapi yang pasti saya tahu kamu benci lamur di daging apa pun, karena kamu jijik dengan teksturnya. Selain lamur, juga kehilangan dan kesakitan.

Saya tahu kamu tahu nama saya, saya tahu kamu kenal saya. Saya tahu kamu tidak memperhatikan saya yang memperhatikanmu. Saya tetap adalah tahi lalat di balik keritingnya rambut pendekmu, tak terlihat, tersamar, terlupa.

Kamu?

Kamu adalah pendar putih kuningnya bulan purnama. Kamu adalah birunya langit pagi, kamu adalah gitar Fender Stratocaster. Kamu adalah cokelatnya meises, kamu adalah jingganya senja. Kamu adalah pemandangan kerlap cahaya kota di lembah dari kafe itu. Kamu adalah biskuit kecilnya cappuccino. Kamu adalah noda tinta hitam di kemeja putih. Kamu adalah manisnya gula jawa. Kamu adalah cinta pertama. Terlihat, terasa, tak tersamar, tak terlupa.

Kamu tidak tahu saya juga suka kopi. Saya juga suka senja dan sastra. Saya juga suka Martin Scorsese dan Mochtar Lubis. Saya juga suka jins belel dan rambut cepak. Saya juga suka perjalanan tak bertujuan dan kerlap lampu kota. Saya juga suka kucing dan mimpi. Saya juga suka menulis pikiran, dan pemandangan lembah bercahaya dari kafe temaram di atas gunung.

Kamu tidak tahu saya juga benci kehilangan dan kesakitan. Kamu tidak tahu saya tidak benci lamur, bahkan saya suka teksturnya.

Kamu tidak tahu saya suka jazz, saya suka Radiohead, saya suka mencuri lihat ke arahmu. Saya suka wanita perokok, saya mencintai ayam goreng dan kamu.

Kamu tidak tahu saya benci untuk berterus terang.

Kita?

Tak pernah ada kita. Saya dan kamu hanya saya... dan kamu. Di kehidupan ini tak pernah ada kita. Mungkin di tempat lain. Di...

Kamu?

Kamu melangkah keluar dari ruang kuliah. Di luar senja jingga yang saya dan kamu suka. Kamu menekan tombol turun, lift akan segera terbuka, saya segera berdiri di belakangmu. Kamu senyum menyapa. Ah... aku tak kuasa menahan senyum. Tapi lalu terpaku.

Pintu lift terbuka, saya dan kamu masuk. "Lantai satu?" katamu. Saya mengangguk, kamu membelakangi. Kamu menekan tombol lift. Saya memandangi tubuhmu.

17...

Masih memandangimu, kamu tetap membelakangiku.

16...

Kamu menoleh, saya kaget. "Habis ini mau ke mana?" kamu bertanya.

15...

"Ke tempat yang jauh..."

14...

Kamu menatapku bingung, "Oh..."

13...

"Kamu mau ke mana?" Saya memberanikan diri bertanya.

12...

"Ke kafe dengan pemandangan lembah bercahaya..." katamu.

11...

"Tak bisa."

10...

"Kenapa?" Kamu terheran-heran.

9...

"Karena kamu ikut saya ke tempat jauh itu." Saya maju lalu menekan tombol stop, lift berhenti dengan guncangan kecil. "Apa-apaan kamu!" Kamu berusaha menekan kembali tombol itu supaya lift kembali berjalan. Saya tarik tanganmu, kamu tak kuat, karena saya laki-laki. Saya dorong tubuhmu ke dinding lift, kamu tak kuat melawan, kamu berteriak tertahan, saya jatuhkan tubuhmu ke lantai. Lift berguncang pelan, saya tahan tubuhmu di sana, saya tatap matamu. Kamu menangis terpejam, saya usap mukamu, saya keluarkan pisau dari kantong celana. Kamu membuka mata, kamu memohon agar saya berhenti. "Maaf... saya cinta kamu..." Saya tancapkan pisau itu tepat di jantung kamu. Seketika kamu tak bergerak. Saya cabut pisau itu, darah segar mengucur seperti hujan yang saya suka. Saya peluk kamu yang tak bergerak, yang tak menolak. Saya bawa tubuhmu bersandar di dinding lift. Saya dan kamu berpelukan. Kamu bersandar di dada saya. Saya mencium dahimu, lalu pipimu, mata indahmu yang terpejam, bibir pucatmu, lehermu, jantungmu. Saya belai rambut pendekmu. Saya memelukmu lebih erat karena kehangatan perlahan telah menyelinap pergi darimu. Saya menangis, lalu tersenyum. Saya tancapkan pisau yang sama di pergelangan tangan saya. Saya iris vertikal, darah mengucur seperti hujan yang kamu suka. Rasanya seperti sudah berjam-jam kita di sana, lama sekali. Saya mulai pusing, saya dan kamu terduduk di dasar lift, saya mengantuk. Saya masih memelukmu. Saya berusaha menekan tombol itu kembali... susah, saya ngantuk sekali.

8...

Saya dan kamu... terduduk berpelukan di dasar lift. Darah saya... darah kamu mengucur mewarnai dasar lift merah. Warna kesukaanmu.

7...

Saya mengantuk... kamu telah tertidur di pelukan saya. Kamu telah sepenuhnya ditinggalkan kehangatan.

6...

Saya berusaha memelukmu lebih erat dengan tenaga yang tersisa. Kehangatan saya menyelinap menyusul kehangatanmu pergi.

5...

Di kehidupan ini tak pernah ada kita. Mungkin di tempat lain. Di...

4...

Di tempat yang jauh itu... di kematian, kita akan bersama.

3...

Saya mencium bibirmu, ungu pucat, dingin dan manis...

2...

Saya merasa sangat mengantuk, saya terpejam. Saya merasa hampir sampai... kita akan segera bertemu, kita akan selalu bersama...

1...

9...

Saya tak pernah menekan tombol stop itu, lift tak pernah berhenti bergerak. Kamu memang ada di sana bersama saya. Membelakangi. Saya tak mampu bersuara, apalagi bergerak. Hanya silet yang tertancap di pergelangan, tanpa usaha. Merobek nyawa dalam tenang. Hanya darah yang mengalir menggenang. Kamu menoleh sesaat. Tapi saya terlanjur terpejam dengan senyum, terjatuh lunglai. Saya adalah seseorang di pelukanmu kini. Satu-satunya tempat yang ingin saya berada. Tepat sebelum saya tiada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun