Jogja...ya...Jogja...
Sepertinya Kota itu telah berhasil memantraiku malam ini. kota yang tidak bisa aku singkirkan keberadaannya. Kota yang juga tak sengaja ikut berperan memberikan sentuhan warnanya dalam hidupku.
semua kota-kota yang memberikan nuansa cerita dengan caranya sendiri...Boyolali - Solo - Jakarta - Jogja. aku terpengaruh olehnya.
Yaa...bisa saja aku tinggal dan bekerja di Jakarta. Menjadi kaum suburban yang tinggal di perumahan pinggiran. Berkantor dengan layak. Terima gaji dan tunjangan tiap bulan. Meniti karier. Membeli barang yang tidak semua mungkin aku benar-benar butuhkan. Berpakaian dengan model update terkini, bersih, wangi, metroseksual, berkarier, menikmati masa muda di ibukota, menikah, punya anak, bayar tagihan, kredit....dan bla...bla...bla...menua dan terus mati. Sejarah berakhir. Dan kita akan terlupa begitu saja. Titik. Habis perkara.
Ya...mungkin juga kuliah seni tidak serta merta menjadikanku seorang desainer yang handal dan disegani. Tak tahu perlu berapa lama dan berapa banyak proses untuk sampai ke titik itu. Yang aku yakini pasti bahwa setiap umat manusia di muka bumi ini punya peristiwa sendiri. Berperan akan sesuatu. Seleksi alam dan akan tetap terus berevolusi. Saling mempengaruhi. Dan saat ini aku berproses..berevolusi dengan caraku sendiri. Merubah genetikku untuk belajar menghadapi cerita hidup. Berguna untuk kelangsungan hidup penerusku selanjutnya. Menyebar dan mungkin mendunia.
Mungkin karena itu juga Tuhan memberikan setiap manusia alur lukisan sidik jari yang berbeda-beda. Hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Kalaupun ada seseorang diluar sana yang sama garis takdirnya, aku pasti akan banyak bertanya padanya. Siapa tahu dia akan memberikan kunci jawaban yang benar apa yang bisa aku lakukan. Hmmm...Bisa jadi. Bisa jadi benar...bisa jadi salah. Dan Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Hidup mati dan jodoh. Dan setiap orang punya cerita berjuangannya sendiri dalam hidup.
Apakah mungkin ada sosok yang seperti Merlin? sang penyihir bijak dan membawa tongkat. Menenangkan. Bijaksana. Dan tua. Selalu mempunyai jawaban untuk pertanyaan, selalu ada sihir di setiap ada kesulitan. Atau ada seorang Semar, sang emban yang bijak, mampu memberikan petuah mujarab. Bisa jadi ada..bisa jadi tidak ada.
Terkadang aku sempat sangat membenci mimpi. Impian selalu akan sangat penuh dengan harapan, bayangan-bayangan indah, optimis, cerah, ceria, romantisme dan selalu menyenangkan. Dan ketika disaat gagal menyeruak, kekecewaan beribu kali menghujam. Sesak. Dan tak tahu ingin berkeluh kesah kepada siapa lagi.
Berusaha hidup tanpa berkantor, berjuang dengan mimpi sendiri dan tanpa sedikitpun bayangan uang pensiunan di hari tua. Serabutan kalang kabut. Bertahan hidup. Terlalu beresiko untuk kawin muda.
Cukup lama juga yaaa..hmmm..7 tahun. dan selama itu pulalah aku menjalaninya begitu saja di kota itu..Jogja. kota yang kupilih sendiri tanpa gangguan siapa-siapa. Melakukan apapun yang aku bisa hanya untuk bertahan dan mampu mendapatkan ongkos sewa kontrakan saja sudah cukup lega. Tidak tahu nasib akan membawaku kemana lagi. Apakah garis nasib akan membuatku tumbuh besar? Ataukah nasib akan membuaiku terjebak berjalan ditempat terus berhenti dan terus mati?
Selama itu pula aku hidup tanpa memikirkan pemenuhan sisi manusiaku akan rasa ingin memiliki sosok seorang pasangan. Lawan jenis. Wanita.
Aku juga tidak berusaha memancarkan aura pemikat hati yang dasyat untuk menjebak lawan jenis yang sekiranya mampu ditipu dengan keadaanku.
Diam...tenang...dan semuanya mengalir. Biarkan semua apa adanya.
Setelah gerimis sore ini perlahan namun pasti dan tidak mungkin terhenti, suasana menyihirku untuk memetik bunga-bunga kenangan. Aneh. Semuanya...semua ingatan.
Kuhisap candu cinta dalam-dalam. Tanpa ragu dan malu. Dan berulang. Semua datang dan pergi silih berganti. Semua cerita kadang berkumpul menjadi satu diatas ubun. Semua wajah terbayang di saat itu juga. Di masanya. Kadang hanya satu wajah yang terlintas. Atau mungkin dua untuk jaga-jaga.
Dan mungkin gerimis sore ini juga membuatku menjadi seorang brengsek yang rapuh, sensitif dan cukup melankolis. Campuran antara rasa lemah tak berdaya, patah hati, kecewa, sedih, rindu, dan sekali lagi...cinta.
Jarak benua membuatku dan Mikaela menjadi bimbang akan ini semua. Akan kami. Akan satu sama lain. Mungkin dia lelah. Aku lelah. Kami sama-sama lelah akan jarak dan waktu. Obrolan surat elektronik langsung membuatku merasakan runtuh sendi-sendi tulang. Ya...kultur dan semua hal yang berbeda pernah membuat kami sama-sama di mabukan candu cinta itu. Kuambil untuk entah keberapa kali kesempatan untuk merasa kecewa hanya untuk bersamanya. Dan aku yakin Mikaela merasa begitu juga.
Kami sudah sama-sama matang. Hanya rumah kami saja yang berjauhan...diujung seberang. negara antah berantah yang aku sendiri lupa letaknya di dalam peta. Aku juga tidak bisa begitu saja meninggalkan ibu sendirian di rumah, dia tahu itu. Dan mungkin juga dia sudah memikirkan semuanya. Tentang aku. Tentang kami. Tentang masa depan.
Pertemuan perjalanan bersama secara tak sengaja yang berbuah candu cinta di Karimunjawa tak serta merta membuatnya meninggalkan keluarga hanya untuk hidup sederhana denganku disini. Tidak. temanku sempat bilang..."ah...itu hanya efek pantai saja...ya...seperti mirip efek musim panas gitu deh" terdengar pesimis, nyinyir, pahit dan menyakitkan untuk cerita cinta yang aku punya. tapi itu mungkin realita. aku tidak tahu pasti....
Aku juga tidak ingin dia merana sedih hidup denganku. Kubelajar lagi rasa melepaskan. Dan Ku ulangi lagi bagaimana cara cepat untuk menyadari bangun dari kekecewaan. Dan yang kupegang hanya mimpi dan sekuat tenaga untuk tetap berjalan. Semua akhir cerita candu cintaku selalu berakhir dramatis. Terlalu banyak yang datang dan pergi membuat diriku sendiri tidak yakin akan kebaikan candu cinta. Mungkin Tuhan memberikanku cobaan dipertemukan dengan banyak pribadi. Dan itu membuatku takut untuk memulai. Aku selalu menunggu. Bukan pencari. Kalaupun itu semua kehendak Tuhan maka terjadilah.
Kenanganku tentang Mikaela tiba-tiba kembali mengisi, setiap sore di akhir pekan aku selalu menjemputnya di stasiun Lempuyangan. Pramex solo-jogja selalu jadi kereta yang kutunggu.
Senyum merekah indah dikala mata kami saling melihat. Dia hafal tempatku menunggu. Dialah si mata abu-abu milikku. Sepanjang perjalanan ke kontrakan ceritanya selalu mengalir deras, kerinduan mendekap erat diatas pacu roda. Dan kemana rencana perjalanan menikmati sore kali ini. Genggaman tangan. Kecupan selamat malam. Pelukan hangat pagi. harum wangi tubuhnya. bibirnya. Semuanya sekarang tak bisa bisa kunikmati lagi...bersamanya, Mikaela. Gadis bermata abu-abu milikku. dan yang kuinginkan saat ini hanya menatap tajam matanya, menyentuh kedua lengannya dan mengatakan bahwa aku selalu memikirkan dia sepanjang waktu, dan tidak akan berhenti mencintainya sepanjang hidupku.
Kepasrahan akan jarak dan waktu mungkin memudarkan perasaannya. Atau mungkin kesadaraannya tentang keadaanku yang tak pernah ideal buatnya. Mungkin juga candu cinta kami tak cukup kuat untuk menyihir untuk hidup bersama. Kuhadapi patah hatiku akan candu cinta ini untuk kesekian kali. Dan kisahku akan tetap terus melangkah dengan apa adanya. Tanpa rekayasa. Tanpa mencari. Hanya menunggu dan terus mencoba melangkah sekuatnya. entah sampai kapan akan kurasakan sesak di dadaku ini. Dan Candu cinta sekali lagi berhasil menipuku. dan aku hanya diam.
- Bersambung                                                                                                Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H