Mohon tunggu...
Adara Nayla
Adara Nayla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Adara Nayla sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, memiliki minat yang kuat dalam memahami isu-isu politik kontemporer. Ia percaya bahwa pemahaman mendalam tentang politik adalah kunci untuk menganalisis dan memecahkan tantangan-tantangan kompleks dalam masyarakat saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU Ketahanan Keluarga dan Narasi Gender Harmony dalam Politik di Indonesia

16 Oktober 2024   23:44 Diperbarui: 17 Oktober 2024   00:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam politik Indonesia, RUU Ketahanan Keluarga yang bertujuan sebagai upaya perlindungan dan dukungan oleh pemerintah bagi keluarga Indonesia, sering dilihat sebagai langkah mundur terhadap kesetaraan gender, karena memperkuat peran tradisional perempuan di rumah. Di sisi lain, konsep "gender harmony" dalam politik sering kali hanya menjadi slogan tanpa implementasi kebijakan yang jelas untuk mengatasi ketidaksetaraan. Kedua konsep ini, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat stabilitas sosial, cenderung mempertahankan stereotip gender yang membatasi peran perempuan di sektor publik. Akibatnya, perempuan tetap terhambat dalam berpartisipasi. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan: Bagaimana RUU Ketahanan Keluarga dan narasi gender harmony dapat menjamin kesejahteraan keluarga di Indonesia, terutama terhadap perempuan?

Benarkah RUU Ketahanan Keluarga Membatasi Peran Perempuan?

Kemunculan RUU Ketahanan Keluarga telah memicu perdebatan karena dianggap sebagai upaya mendomestifikasi peran perempuan, dengan mengembalikan fokus utama mereka pada ranah rumah tangga. Pada Pasal 25 Ayat 3 RUU tersebut menekankan bahwa tugas utama perempuan adalah mengurus keluarga sebagai ibu rumah tangga, sementara laki-laki diposisikan sebagai pencari nafkah. Pendekatan ini berpotensi memperkuat stereotip tradisional yang membatasi peran perempuan hanya di ranah domestik, sekaligus mengabaikan kontribusi perempuan dalam bidang publik, seperti ekonomi dan politik, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender. 

RUU Ketahanan Keluarga mengatur tentang peran dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh suami, istri, orang tua, dan anak dalam keluarga sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 25 RUU tersebut. Namun, dinamika setiap keluarga berbeda-beda dan tidak bisa diseragamkan, sehingga standar untuk menjalankan peran dan kewajiban juga bervariasi. Selain itu, sulit untuk menetapkan ukuran yang jelas atau sanksi konkret terhadap pelanggaran kewajiban ini, karena konsekuensi yang dihadapi mungkin tidak dapat didefinisikan secara umum untuk setiap kondisi keluarga.

Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan peran strategis perempuan. Kontribusi perempuan tidak bisa diabaikan, karena mereka memegang peran yang signifikan dalam pembangunan bangsa. Mengintegrasikan peran perempuan dalam kebijakan pembangunan akan memperkuat upaya mewujudkan Indonesia yang lebih maju, karena perempuan tidak hanya berperan dalam lingkup domestik, tetapi juga di berbagai sektor publik yang penting.

Gender Harmony dalam Ranah Politik

Salah satu isu yang terus menjadi perbincangan hangat di ranah publik dan politik adalah persoalan gender dan kesetaraan gender. Di Indonesia, ketimpangan gender dalam kehidupan publik dan politik masih menjadi tantangan serius. Keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas publik maupun politik belum memadai, dan hal ini mencerminkan adanya kesenjangan yang perlu segera diatasi untuk mencapai kesetaraan yang sesungguhnya dalam partisipasi sosial dan politik di tingkat nasional maupun lokal.

Keterwakilan perempuan dalam partai politik menjadi isu penting, terutama karena definisi keterwakilan itu sendiri tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan merujuk pada peraturan perundang-undangan lain. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, keterwakilan perempuan diartikan sebagai pemberian kesempatan dan posisi yang setara bagi perempuan untuk menjalankan perannya di bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pemilihan umum, demi mencapai keadilan dan kesetaraan gender.

Meskipun Indonesia telah menetapkan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan di parlemen, kenyataannya politik masih dikuasai oleh laki-laki, dengan partisipasi perempuan sering kali bersifat simbolis. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa meskipun terdapat kuota untuk perempuan di parlemen, keterwakilan mereka masih jauh dari harapan yang ditetapkan. Pada tahun 2019, hanya 118 dari 575 kursi yang diisi oleh perempuan, yang setara dengan sekitar 20,52%. Statistik ini mencerminkan adanya hambatan signifikan yang menghalangi partisipasi perempuan di ranah politik. 

Gender harmony seharusnya tidak hanya dipahami sebagai keselarasan peran antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga mencakup kesetaraan dalam akses dan partisipasi politik. Kebijakan yang ada harus memastikan bahwa perempuan memiliki peran yang signifikan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Namun, narasi ini sering kali digunakan untuk mempertahankan status quo, di mana perempuan terbatas pada peran pendukung laki-laki. Untuk mencapai kesetaraan yang sejati, diperlukan perubahan struktural dan penghapusan norma-norma sosial yang menghambat partisipasi perempuan.

RUU Ketahanan Keluarga di Indonesia menciptakan tantangan besar bagi kesetaraan gender. Kedua konsep ini berisiko memperkuat stereotip tradisional yang menghambat partisipasi penuh perempuan dalam masyarakat, khususnya di ranah politik dan ekonomi. Meskipun diharapkan dapat memperkuat stabilitas sosial, baik RUU ini maupun konsep gender harmony sering kali hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata. Konsep ini perlu diimplementasikan dalam kebijakan yang mendorong peningkatan partisipasi perempuan di seluruh sektor, khususnya dalam arena politik. Ketidakcukupan keterwakilan perempuan dalam politik mencerminkan kesenjangan yang masih ada, meskipun ada kuota. Untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati, Indonesia membutuhkan reformasi struktural yang lebih mendalam, baik dalam hukum maupun dalam norma-norma sosial yang ada. AN.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun