Mohon tunggu...
Inge Guntarti
Inge Guntarti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengusaha kerajinan imitasi kulit

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Baba dan Nyonya

16 Januari 2025   14:32 Diperbarui: 16 Januari 2025   14:32 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baba dan Nyonya adalah predikat bagi pria dan wanita dewasa keturunan Tionghoa yang sekian belas dekade lalu banyak tersebar di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang di satu pihak masih (berupaya) memegang teguh tradisi leluhur, namun di lain pihak dalam perjalanan waktu mereka mulai mengadopsi berbagai  pengaruh lokal di tempat dimana mereka berdomisili. Baik dalam hal budaya, bahasa, cara berbusana, makanan dan lain lain.

Di masa kanak kanak  dulu, saya teringat orang tua kami ( kakek nenek sampai dengan ayah dan ibu saya) selalu menggunakan sebutan Bah A, Nyah B untuk memanggil teman atau relasi mereka. Bah tentu saja untuk sebutan akrab Baba , dan Nyah untuk Nyonya. Maka pembantu rumah tangga kamipun saat itu memanggil ibu saya dengan panggilan Ndoro Nyonya. Tetapi yang agak nyleneh dan saya tidak habis pikir, mereka memanggil ayah saya bukan Ndoro Baba tetapi Ndoro Tuan. Bisa jadi ini merupakan salah satu bukti pengaruh lokal Jawa dalam babak kehidupan kami di masa lampau. Mendengar istilah Ndoro terasa ber-bau feodal. Mungkin saja. Tetapi jangan salah tafsir para pembantu dan pekerja di rumah kami bukan dalam situasi hamba sahaya. Memang betul ketika kami duduk berbincang, dan mereka akan melewati tempat kami berada selalu mereka membungkukkan badan. Itu lebih merupakan bukti hormat dan bukan cara merendahkan diri.  Hubungan kami lebih sebagai teman dalam kebersamaan. Bila santapan kami suatu ketika agak lebih "mewah" itu karena memang kami dalam posisi yang dilayani. Tetapi pada prinsipnya apa yang kami makan tiap hari itu juga yang mereka makan, kecuali babi. . Karena kami memang keluarga keturunan Cina.

Cara berbusana pada era kakek nenek pun dibanding era ayah dan ibu sudah berbeda. Kakek sang Baba dalam beberapa foto hitam putih yang pernah saya lihat masih mengenakan celana panjang dan baju berkerah mirip baju kokok yang kita kenal sekarang. Nenek sang Nyonya berkain batik corak Cina dan berkebaya tipis dengan tepian berbordir yang lebih dikenal dengan nama kebaya encim. Sedangkan kain batiknya bercorak Cina ini banyak dikenal sebagai kain batik Lasem. Nenek saya memanjangkan rambutnya dan menggelungnya menjadi konde. Sama dengan cara perempuan Jawa menggelung rambutnya. Masa remaja ibu saya pun demikian. Beliau sempat berkain kebaya encim sebagai busana harian. Tetapi seiring berjalannya waktu setelah ibu menikah sudah berganti memakai rok sebagai akibat masuknya budaya Barat dan memang lebih praktis. Apalagi beliau sempat mengenyam pendidikan barat (sekolah Belanda) setingkat SD.

Jenis kuliner atau masakan sehari -hari pun di keluarga kami seperti kebanyakan keluarga Cina peranakan lainnya. Nasi adalah menu utama , bukan bakmi. Lauk pasti ada beberapa yang diolah dari ayam, ikan , daging sapi, kodok atau babi . Ayam sering dimasak Opor atau ayam direbus kuah bening atau digoreng mentega, tjoan tjoan ikan belanak, swiekee kuah taoco, iga babi kuah sayur (sawi) asin, babi campur tahu dan telur  bakmoy, bakso ikan atau bakso sapi, sambal goreng rempela hati, sup lobak, ca sawi, dan lain lain merupakan perpaduan dari resep Cina dan lokal.

Bahasa yang digunakan oleh kami Baba &  Nyonya terbilang juga unik. Untuk berkomunikasi, karena keluarga kami berdomisili di Jawa Tengah, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek  Jawa dan dengan campuran kosa kata yang berasal bahasa Cina maupun bahasa daerah/lokal. Seperti: amsiong (jelek), kekhi (jengkel), bo cengli (tidak adil), boh wat (tidak habis mengerti), ciamik (bagus sekali), hoki (beruntung), ciak lat (gawat,payah), cwan/cuan (keuntungan), ciu atau minuman keras , lihay (hebat, piawai), ligiat (nakal) dan masih banyak lagi

Apakah Baba dan Nyonya tergolong Cindo?. Jawaban tepatnya menurut saya bukan.  Cindo adalah keturunan Cina warga Indonesia, baik yang hidup di masa lalu maupun yang ada bersama kita sekarang. Sedangkan Baba dan Nyonya banyak juga ditemui di negara tetangga kita . Tapi mereka tumbuh dari akar yang sama. Jadi serupa tapi tak sama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun