Baru-baru ini, layanan joki semakin sering ditemukan di media sosial. Namun, muncul pertanyaan apakah kita dapat menjadi joki dan apakah tindakan ini melanggar hukum? Jika iya, apa konsekuensinya? Mari kita bahas kekhawatiran ini.
Joki
Sebelum membahas hukum terkait joki di Indonesia, penting untuk memahami arti dari istilah joki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), joki dapat merujuk pada seseorang yang menunggangi kuda pacuan atau individu yang mengambil ujian atas nama orang lain dengan menyamar sebagai peserta sebenarnya dan menerima bayaran sebagai imbalan. Secara umum, joki melakukan tindakan atas nama orang lain untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Di Indonesia, penggunaan joki tidak hanya terbatas pada konteks ujian atau pacuan kuda. Contohnya, joki digunakan untuk memenuhi ketentuan minimal tiga orang dalam satu mobil (3 in 1) atau dalam upaya untuk memperoleh pekerjaan, seperti yang terjadi pada tes masuk BUMN. Saya merasa prihatin dengan fakta ini karena ini menunjukkan bahwa orang Indonesia enggan melakukan hal yang sulit atau tidak mau menghadapi tantangan. Tindakan seperti ini seharusnya tidak dijadikan tren atau dianggap sebagai hal yang wajar.
Di lansir dari laman Literasi Hukum Indonesia Praktik joki dapat dikenai 2 sanksi sekaligus, yakni sanksi etik dan sanksi pidana. Apa saja sanksi etik yang dapat dikenakan untuk orang yang menggunakan jasa joki?Â
Karena joki merupakan pelanggaran atas etika akademik, maka praktik joki dapat dikenakan sanksi etika akademik dengan membatalkan pemberian gelar kepada mereka yang menggunakan jasa joki tugas akhir.
Lalu bagaimana dengan sanksi pidana?
Berbeda dengan sanksi etik yang hanya dapat dikenakan untuk orang yang menggunakan jasa joki, sanksi pidana dapat dikenakan dapat dikenakan untuk pengguna jasa dan penyedia jasa. Setidaknya terdapat 3 delik yang dapat dikenakan, pertama adalah delik pidana pemalsuan surat. Berdasarkan KUHP, praktek perjokian ini juga bisa dianggap sebagai pemalsuan surat sebagaimana diatur Pasal 263 KUHP, sehingga dapat di pidana dengan tindak pidana pemalsuan surat. Bunyi Pasal 263 KUHP adalah sebagai berikut:
"Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun."
Kedua, Jasa joki bisa ditindak dengan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai jiplakan atau plagiasi. Sanksi yang diatur dalam UU SISDIKNAS adalah sebagai berikut:
"Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 2 terbukti merupakan jiplakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta."
Selanjutnya praktek perjokian ini juga bisa ditindak dengan dalil melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Sanksinya adalah sebagai berikut: