Mohon tunggu...
Adam Ibnu
Adam Ibnu Mohon Tunggu... -

Mencintai ilmu pengetahuan bernurani dan beretika tanpa pernah melupakan Hotel Intelektual Kampus di Universitas Az-Zahra. Anggota Kominitas Klinik Menulis Az-Zahra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untaian Kegelisahan Intelektual (1)

31 Desember 2011   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:32 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salam..

Suatu pagi di suatu hari, aku duduk menatap nanar melihat bayangan demi bayangan peristiwa di kampus tercinta. Berpikir sesuatu yang sudah sering terpikirkan, namun enggan dituliskan. Karena masih bersemedi di ruang dialektika pemikiran.

Diantara baris-baris meja kantin kampus yang selalu kosong dari akivitas intelektual kecuali memadu asmara mahasiswa. Terbesit hempasan demi peristiwa yang memuakkan dengan kondisi 'miniatur negeri' ini, bernama kampus.

Sejak 'Merdeka' di tahun1995, bisa dihitung dengan jari 'Negara Lain' yang 'mengakui kedaulatan' tempat ini. Entah karena sikap Eksklusif yang diperlihatkan, atau gengsi sebagai kampus baru, atau karena memang tempat ini disiapkan hanya untuk calon mahasiswa yang bercita-cita menjadi orang tua dalam usia muda. Hanya 'Founding Father' tempat ini yang tahu karena tidak mau untuk berbagi walau sebuah cuplikan pemikiran. Itulah sedikit Info yang aku dengar dari mereka yang mengaku senior-senior tempat ini. Entah senior apa tanpa karya yang dapat dibaca.

Pertengahan tahun 2008, aku menginjakan kaki di tempat ini. Sebuah kampus yang menjadikan slogan 'peduli rakyat' dalam ' menaturalisasi' rakyat untuk menjadi 'warga negaranya'. Sebuah slogan yang jelas dapat membuat para calon mahasiswa berdecak kagum. Karena di zaman seperti ini di sebuah Negeri yang katanya besar, yang profesi sebagai mahasiswa menjadi kaum minoritas, ternyata masih ada Lembaga pendidikan sekelas Universitas yang peduli dengan rakyat,di saat setiap elemen kekuasaan banyak mengeruk keuntungan dari berbagai sektor kehidupan di Negeri ini.

Tapi, slogan hanyalah tinggal slogan tanpa bukti artefak dan simbol penuh makna. Detik demi detik, menit tiap menit, hari demi hari, semua berubah  dalam sekejap. Cita-cita mahasiswa yang  dipertanggung jawabkan kepada orang tua mereka harus terbentur dengan setiap kebijakan-kebijakan dan maklumat pihak Universitas yang sangat jauh dari esensi pendidikan yang mencerdaskan sekaligus memerdekakan. Mulai dari sistem administrasi yang tidak transparan, metode kurikulum perkuliahan yang berantakan, sampai yang lebih mengenaskan tidak jelasnya standar kompetensi pendidikan yang hendak dicapai.

Kondisi ini diperparah dengan status 'vacuum of power' di tingkat lembaga mahasiswa selama kurang lebih 4 tahun, terhitung sampai saya pertama kali menginjakan kaki di tempat ini. Kampus yang memiliki kemiskinan wadah kreatifitas mahasiswa.

Satu tahun berlangsung,roda kegiatan mahasiswa berangsur mulai hidup kembali, ditandai dengan diadakannya pemilihan raya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang sempat vakum selama 4 tahun. Meskipun terkesan dipaksakan, tapi ada kebanggaan bagi mahasiswa yang namanya masuk dalam jajaran 'parlemen'. Bisa dibilang, untuk sementara, kampus ini sedikit mengalami kemajuan 'peradaban'.

Beberapa bulan berlangsung, kegiatan mahasiswa terbangun dari tidur panjangnya. Perekrutan besar-besaran dilakukan oleh para senior-senior kepada mahasiswa baru untuk menjadi calon penerus mereka yang sebentar lagi akan memasuki masa 'kadaluwarsa'.

Sayang, animo kebangkitan itu tidak berlangsung lama alias seyap senyap sampai. Para mahasiswa mengaku sebagai pendahulu warga kampus yang dipercaya duduk di kursi parlemen untuk menyampaikan program dan keluh kesah mahasiswa, kolaps seiring berjalannya waktu. Berbagai alasan klasik mengemuka berkaitan dengan vakumnya mereka. Tetapi bisa ditarik kesimpulan bahwa minimnya komunikasi organisasi dan banyaknya konflik kepentingan yang mencuat menjadi penyebab utama mandulnya program parlemen yang dipaksakan pada saat itu.

'Vacuum of power'. Lagi-lagi itu kondisi yang harus dihadapi mahasiswa. Semua program yang telah dicanangkan setiap UKM mentah begitu saja tanpa meninggalkan pembelajaran. Beruntung, mahasiswa tidak terlalu lama berkubang dalam kondisi ketidakpastian ini. Mahasiswa kembali melaksanakan pemilihan raya Badan Eksekutif Mahasiswa untuk yang ke dua kalinya sejak masa 'kegelapan'.

Setiap elemen mahasiswa dilibatkan dalam proses persiapan pesta demokrasi di tingkat Universitas.Sampai pada akhirnya terpilih Presiden Mahasiswa periode baru.

Kepemimpinan di tingkat lembaga mahasiswa memasuki jilid baru, hadirnya mahasiswa tahun ajaran baru menambah 'kesegaran' kabinet yang baru terbentuk ini. Itulah kesan pertama yang saya lihat pasca pembaiatan pengurus lembaga mahasiswa yang baru.

Roda kegiatan mahasiswa pun terus berjalan, dimulai dengan dilaksanakannya Study Outbond Training (dulu masih bernama Ospek) untuk menyambut kehadiran mahasiswa baru. Kesan pertama yang sempurna, dalam pandangan saya.

Tapi, seperti keledai jatuh pada lubang yang sama. Kecelakaan sejarah terulang dikampus ini. Dosa yang sama kembali diperbuat. Ketidak konsistenan dalam berorganisasi kembali menjadi momok menakutkan yang kembali menyerang. Hanya bedanya, jika kabinet sebelumya mengalami kemandekan dalam komunikasi organisasi, kabinet jilid dua ini justru berbeda 180 derajat dari 'senor-senior' nya. Kampus yang seharusnya menjadi 'wilayah' mereka yang harus dipertanggung jawabkan, tapi justru sedikit demi sedikit ditinggalkan. 'Glamour' nya dunia pergerakan antar kampus ibukota menjadi lahan baru yang lebih menggiurkan ketimbang harus 'bertarung' di rumah sendiri.

Wajar memang, itu yang harus dilakukan pengurus lembaga mahasiswa untuk turut aktif dalam kegiatan antar kampus, tetapi hal itu seharusnya dilakukan dengan tidak mengorbankan 'rakyat di 'Negara sendiri'.

Ketidak seimbangan pergerakan ini yang membuat kondisi pemerintahan 'dalam negeri' menjadi carut marut. Segala hal yang berurusan dengan kemaslahatan mahasiswa dan pergerakan intra kampus menjadi terbengkalai. Ditambah lagi dengan 'kumatnya' penyakit lama yaitu tidak adanya komunikasi berorganisasi. Semua elemen lembaga mahasiswa yang terkait seolah tidak mengerti dengan tugas dan tanggung jawabnya yang telah mereka 'kampanyekan' sebelum pemira.

Semua saling menyalahkan, lempar tanggung jawab, sampai hal-hal sepele yang berhubungan dengan 'rumah tangga' Badan Eksekutif Mahasiswa.

Semua ini tidak terlepas dari sikap dan karakteristik pemimpin yang tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi kampus kekinian. Mahasiswa yang seharusnya menjadi pemimpin tertinggi non-formal di tingkat Universitas, tapi justru hanya terpaku dengan setiap kebijakan dan maklumat kampus yang sifatnya hanya demi kepentingan sepihak. Bagaikan rakyat tak berpendidikan yang hidup jauh dari peradaban. Padahal kita mengenyam pendidkan di ibukota yang merupakan sentral dari seluruh elemen kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mahasiswa seakan tidak mempunyai pemimpin yang harus dijadikan patron dalam setiap aktifitas kelembagaan. Baik ditingkat BEM, DPM, maupun MPM. Pergerakan mahasiswa intra kampus menjadi rancu. Setiap mahasiswa hanya bisa membentuk sebuah komunitas-komunitas kekuasaan yang kecil dan tidak mempunyai hak secara struktural.

Imbasnya, jangan salahkan jika mahasiswa bertindak tegas, wadah ekspresi mereka yang dijadikan lahan untuk berkreativitas, mandek seketika. Mahasiswa seperti tidak mempunyai pemimpin yang memiliki kapabilitas dan terkesan bergerak sendiri serta terburu-buru.

Sekarang, pertanyaan yang muncul dalam benak mahasiswa,mau apa setelah ini ??. Membiarkan kondisi ini terlarut sampai pemira berikutnya ?. Atau bertindak dengan segera secara bersama-sama, dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Majelis tertinggi mahasiswa ( MPM )??. Karena sudah barang tentu kegiatan mahasiswa tidak terpatri hanya pada kegiatan perkuliahan. Mahasiswa membutuhkan sesuatu yang lebih, yang segar, serta memberikan ruang gerak berekspresi yang seluas-luasnya sesuai dengan jiwa mereka yang masih muda dan mengebu-gebu. Sungguh sangat disayangkan jika kreativitas mahasiswa 'mampet' hanya karena ulah pemimpinnya yang telah bertindak diluar wewenang.

Sungguh tidak fair rasanya jika semua beban ini harus sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa, apalagi mereka yang tidak tahu apa-apa. Pihak Universitas sebagai lembaga tertinggi secara formal memiliki andil untuk berperan serta menyelesaikan kebobrokan ini. Karena mahasiswa saat ini tidak tahu harus mengadu ke siapa. Setidaknya ada itikad baik dari pihak Universitas untuk terus memupuk dan menjaga animo kegiatan mahasiswa agar terus berkembang.

Sampai kapan ini berlangsung  dan apa yang harus diperbaiki ??????..tunggu jawabannya di coretan selanjutnya.,

Wass..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun